Kamis, 12 November 2009

Ilusi Negara Islam

NKRI harga mati toleransi beragama harus dijunjung tinggi, Pancasila adalah Idiologi bangsa Indonesia dengan tetap menghormati semua agama di Indonesia. Muhammadiyah dan NU adalah organisasi Islam yg memiliki pengaruh penting terhadap hubungan beragama di Indonesia. namun Indonesia sedang mengalami krisis tolleransi beragama temukan jawabannya di www.bhinnekatunggalika.org/

Rabu, 19 Agustus 2009

Konsep Pendidikan dalam Al-Qur’an dan Pengembangannya

Konsep Pendidikan dalam Al-Qur’an dan Pengembangannya*

Al-Qur'an merupakan firman Allah yang selanjutnya dijadikan pedoman hidup (way of life) kaum muslim yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Di dalamnya terkandung ajaran-ajaran pokok (prinsip dasar) menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa dan kapanpun masanya dan hadir secara fungsional memecahkan problem kemanusiaan. Salah satu permasalah yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah masalah pendidikan.

Dalam al-Qur'an sendiri telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan sangat penting, jika al-Qur'an dikaji lebih mendalam maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang selanjutnya bisa kita jadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu. Ada beberapa indikasi yang terdapat dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan pendidikan antara lain; Menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, fitrah manusia, penggunaan cerita (kisah) untuk tujuan pendidikan dan memelihara keperluan sosial masyarakat .
Untuk mengkaji aspek pendidikan dalam al-Qur'an maka makalah ini sengaja dibuat, dalam makalah ini penulis hanya memaparkan tentang pengertian pendidikan, istilah-istilah pendidikan dalam al-Qur'an, hakikat dan prinsip dasar, serta analisis problem di dunia pendidikan Islam terutama di Indonesia, bagaimana konsep ideal pendidikan Islam? dan bagaimana realitas pendidikan Islam di Indonesia? serta bagaimana mewujudkan pendidikan Islam yang bermutu?

Pengertian Konsep Pendidikan dalam Al-qur’an
Istilah pendidikan bisa ditemukan dalam al-Qur'an dengan istilah ‘at-Tarbiyah’, ‘at-Ta’lim’, dan ‘at-Tadhib’, tetapi lebih banyak kita temukan dengan ungkapan kata ‘rabbi’, kata at-Tarbiyah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi rabba , yang mempunyai pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah. Dalam al-Qur'an tidak ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah yang senada dengan itu yaitu; ar-rabb, rabbayani, murabbi, rabbiyun, rabbani. Sebaiknya dalam hadis digunakan istilah rabbani. Semua fonem tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.
Beberapa ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan kat-kata diatas. Sebagaimana dikutip dari Ahmad Tafsir bahwa pendidikan merupakan arti dari kata ‘Tarbiyah’ kata tersebut berasal dari tiga kata yaitu; rabba-yarbu yang bertambah, tumbuh, dan ‘rabbiya- yarbaa’ berarti menjadi besar, serta ‘rabba-yarubbu’ yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara.
Konferensi pendidikan Islam yang pertama tahun 1977 ternyata tidak berhasil menyusun definisi pendidikan yang dapat disepakati, hal ini dikarenakan; 1) banyaknya jenis kegiatan yang dapat disebut sebagai kegiatan pendidikan, 2) luasnya aspek yang dikaji oleh pendidikan .
Para ahli memberikan definisi at-Tarbiyah, bila diidentikan dengan ‘arrab’ sebagai berikut;
1) Menurut al-Qurtubi, bahwa; arti ‘ar-rabb adalah pemilik, tua, Maha memperbaiki, Yang Maha pengatur, Yang Maha mengubah, dan Yang Maha menunaikan
2) Menurut louis al-Ma’luf, ar-rabb berarti tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah dan mengumpulkan .
3) Menurut Fahrur Razi, ar-rabb merupakan fonem yang seakar dengan al-Tarbiyah, yang mempunyai arti at-Tanwiyah (pertumbuhan dan perkembangan) .
4) Al-Jauhari memberi arti at-Tarbiyah, rabban dan rabba dengan memberi makan, memelihara dan mengasuh.
5) Kata dasar ar-rabb, yang mempunyai arti yang luas antara lain; memilki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan dan berarti pula mendidik.

Apabila pendidikan Islam di identikan dengan at-ta’lim, para ahli memberikan pengertian sebagai berikut;
(a) Abdul Fattah Jalal, mendefinisikan at-ta’lim sebagai proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya . At-ata’lim menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman prilaku yang baik. At-ta’lim merupakan proses yang terus menerus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta memanfaatkanya dalam kehidupan.
(b) Munurut Rasyid Ridho, at-ta’lim adalah proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu . Definisi ini berpijak pada firman Allah al-Baqoroh ayat 31 tentang allama Allah kepada Nabi Adam as, sedangkan proses tranmisi dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya. Dari penjelasan ini disimpulkan bahwa pengertian at-ta’lim lebih luas/lebih umum sifatnya daripada istilah at-tarbiyah yang khusus berlaku pada anak-anak. Hal ini karena at-ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, sedangkan at-tarbiyah, khusus pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.
(c) Sayed Muhammad an Naquid al-Atas, mengartikan at-ta’lim disinonimkan dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bila at-ta’lim disinonimkan dengan at-tarbiyah, at-ta’lim mempunyai arti pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah system .

Menurutnya ada hal yang membedakan antara at-tarbiyah dengan at-ta’lim, yaitu raung lingkup at-ta’lim lebih umum daripada at-tarbiyah, karena at-tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial dan juga at-tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa latin education, yang keduanya mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi sumbernya bukan dari wahyu.
Pengunaan at-ta’dib, menurut Naquib al-Attas lebih cocok untuk digunakan dalam pendidikan Islam, konsep inilah yang diajarkan oleh Rasul. At-ta’dib berarti pengenalan, pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedimikian rupa, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud dan keberadaanya .
Kata ‘addaba’ yang juga berarti mendidik dan kata ‘ta’dib’ yang berarti pendidikan adalah diambil dari hadits Nabi “Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik” .

(d) Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian at-ta’lim berbeda dengan pendapat diatas, beliau mengatakan bahwa; at-ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan at-tarbiyah, karena at-ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan at-tarbiyah mencakuip keseluruhan aspek-aspek pendidikan .

Masih lagi pengertian pendidikan Islam dari berbagai tokoh pemikir Islam, tetapi cukuplah pendapat diatas untuk mewakili pemahaman kita tentang konsep pendidikan Islam (al-Qur'an ). Konsep filosofis pendidikan Islam adalah bersumber dari hablum min Allah (hubungan dengan Allah) dan hablum min al-nas (hubungan dengan sesama manusia) dan hablum min al-alam (hubungan dengan manusia dengan alam sekitas) yang selanjutnya berkembang ke berbagai teori yang ada seperti sekarang ini. Inprirasi dasar yaitu berasal dari al-Qur'an.

Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah suatu yang diharapakan tercapai setelah sesuatu kegiatan selesai atau tujuan adalah cita, yakni suasana ideal itu nampak yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan, suasana ideal itu tampak pada tujuan akhir (ultimate aims of education)
Adapun tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalamai proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu hidup, selain sebagai arah atau petunjuk dalam pelaksanaan pendidikan, juga berfungsi sebagai pengontrol maupun mengevaluasi keberhasilan proses pendidikan.
Sebagai pendidikan yang nota benenya Islam, maka tentunya dalam merumuskan tujuan harus selaras dengan syari’at Islam. Adapun rumusan tujuan pendidikan Islam yang disampaikan beberapa tokoh adalah;
1) Ahmad D Marimba; tujuan pendidikan Islam adalah; identiuk dengan tujuan hidup orang muslim. Tujuan hidup manusia munurut Islam adalah untuk menjadi hamba allah. Hal ini mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya .
2) Dr. Ali Ashraf; ‘tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah pada tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan pada umunya” .
3) Muhammad Athiyah al-Abrasy. “the fist and highest goal of Islamic is moral refinment and spiritual, training” (tujuan pertama dan tertinggi dari pendidikan Islam adalah kehalusan budi pekerti dan pendidikan jiwa)”
4) Syahminan Zaini; “Tujuan Pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berjasmani kuat dan sehat dan trampil, berotak cerdas dan berilmua banyak, berhati tunduk kepada Allah serta mempunyai semangat kerja yang hebat, disiplin yang tinggi dan berpendirian teguh”.
Dari berbagai pendapat tentang tujuan pendidikan Islam diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Hakekat Pendidikan dalam al-Qur'an
Hakekat/nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Nilai bersifat praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara objektif didalam masyrakat. Nilai ini merupakan suatu realita yang sah sebagai suatu cita-cita yang benar dan berlawanan dengan cita-cita palsu yang bersifat khayal .
Dari beberapa pengertian diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa pengertian pendidikan Islam adalah; proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam pada peserta didik melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya untuk mencapai keseimbangan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya. Sehingga dapat dijabarkan pada enam pokok pikiran hakekat pendidikan Islam yaitu;
1) Proses tranformasi dan internalisasi, yaitu upaya pendidikan Isla harus dilakukan secara berangsur-angsur, berjenjang dan Istiqomah, penanaman nilai/ilmu, pengarahan, pengajaran dan pembimbingan kepada anak didik dilakukan secara terencana, sistematis dan terstuktur dengan menggunakan pola, pendekatan dan metode/sistem tertentu.
2) Kecintaan kepada Ilmu pengetahuan, yaitu upaya yang diarahkan pada pemberian dan pengahayatan, pengamalan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang bercirikhas Islam, dengan disandarkan kepada peran dia sebagai khalifah fil ardhi dengan pola hubungan dengan Allah (hablum min Allah), sesama manusia (hablum minannas) dan hubungan dengan alam sekitas (hablum min al-alam).
3) Nilai-nilai Islam, maksudnya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam praktek pendidikan harus mengandung nilai Insaniah dan Ilahiyah. Yaitu: a) nilai yang bersumber dari sifat-sifat Allah sebanyak 99 yang tertuang dalam “al Asmaul Husna” yakni nama-nama yang indah yang sebenarnya karakter idealitas manusia yang selanjutnya disebut fitrah, inilah yang harus dikembangkan. b) Nilai yang bersumber dari hukum-hukum Allah, yang selanjutnya di dialogkan pada nilai insaniah. Nilai ini merupakan nilai yang terpancar dari daya cipta, rasa dan karsa manusia yang tumbuh sesuai dengan kebutuhan manusia.
4) Pada diri peserta didik, maksudnya pendidikan ini diberikian kepada peserta didik yang mempunyai potensi-potensi rohani. Potensi ini memmungkinkan manusia untuk dididik dan selanjutnya juga bisa mendidik.
5) Melalui pertumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya, tugas pokok pendidikan Islam adalah menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, dan menjaga potensi manusia, sehingga tercipta dan terbentuklah kualitas generasi Islam yang cerdas, kreatif dan produktif.
6) Menciptakan keseimbangan dan kesempurnaan hidup, dengan kata lain ‘insan kamil’ yaitu manusia yang mampu mengoptimalkan potensinya dan mampu menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani, dunia dan akherat. Proses pendidikan yang telah dijalani menjadikan peserta didik bahagia dan sejahtera, berpredikat khalifah fil ardhi.

Prinsip diatas adalah pikiran idealitas pendidikan Islam terutama di Indonesia, tetapi dalam mewujudkan cita-cita tersebut banyak sekali permasalah yang telah menghambat pencapaian cita-cita tersebut malah terkadang membelokkan tujuan utama dari pendidikan Islam. Problem pendidikan Islam harus menjadi tanggung jawab bersama baik dari pendidik, pemerintah, orang tua didik dan anak didik itu sendiri, jadi kesadaran dari semua pihak sangatlah diharapkan.

Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam
Kata ‘prinsip’ adalah akar kata dari principia yang diartikan sebagai permualaan, yang dengan suatu cara tertentu melahirkan hal-hal lain, yang keberadaannya tergantung dari pemula itu’ . jadi kalau berbicara mengenai prinsip pendidikan Islam, maka pelaksanaan pendidikan ini telah digariskan oleh prinsip atau konsep dalam ajaran Islam. Prinsip-prinsip tersebut adalah;
a) Pendidikan Islam sebagai suatu proses pengembangan diri; Manusia adalah makhluk paedagogik, yaitu makhluk Allah yang dapat dididik dan dapat mendidik. Potensi itu ada dengan adanya pemberian Allah berupa akal-pikiran, perasaan, nurani, yang akan dijalani manusia baik sebgai makhluk individu maupun sebagai makhluk yang bermasarakat. Potensi yang besar tidak akan bisa kita manfaatkan jika kita tidak berusaha untuk mengaktifkan, mengembangkan dan melatihnya. Hal itu membutuhkan sebuah proses yang akan memakan waktu, tenaga bahkan biaya, tetapi mengingat potensi yang luar biasa yang kita akan raih hal itu tidak ada artinya apa-apa. Jadi pendidikan adalah proses untuk mengembangakan potensi diri.
b) Pendidikan Islam; pendidikan yang bebas; Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan berkehendak dan berbuat yang diberikan Allah kepada manusia, kebebasan ini tentunya terikat dengan hukum syara’. Kebebasan disini berarti manusia bebas memilih prosesnya masing-masing dari prinsip ini seorang pendidik tidak bisa memaksa anak didik untuk menentukan pilihan yang harus dijalani anak didik. Pendidik hanya mengarahkan kemana potensi yang dominan yang bisa dikembangkan oleh peserta didik tersebut.
c) Pendidikan Islam penuh dengan nilai insaniah dan ilahiyah; Agama Islam adalah sumber akhlak, kedudukan akhlak sangatlah penting sebagai pelengkap dalam menjalankan fungsi kemanusiaan di bumi. Pendidikan merupakan proses pembinaan akhlak pada jiwa. Meletakkan nilai-nilai moral pada anak didik harus diutamakan. Nilai-nilai ketuhanan harus dikedepankan, pendidikan Islam haruslah memperhatikan pendidikan akhlak atau nilai dalam setiap pelajaran dari tingkat dasar sampai tingkat tertinggi dan mengutamakan fadhilah dan sendi moral yang sempurna .
d) Prinsip Keseimbangan hidup; Dalam pendidikan Islam prinsip keseimbangan meliputi;
i. Keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat
ii. Keseimbangan antara kebutuhan jasmanai dan rohani
iii. Keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial
iv. Keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan amal
Prinsip ini telah ditegaskan dalam al-Qur'an (Al-Qashas;77); ‘ dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan kepadamau (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jaganlah kamu melupakan kebahagiaan dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…’
e) Prinsip persamaan; Kesempatan belajar dalam Islam sama antara laki-laki dan perempuan, oleh karena itu kewajiban untuk menuntut ilmu juga sama. Sistem pendidikan tidak mengenal perbedaan dan tidak membeda-bedakan latar belakang orang itu jika dia mau menuntut ilmu. Semua punya potensi yang sama untuk di didik dan punya kesempatan yang sama untuk memproses diri dalam pendidikan.
f) Prinsip seumur hidup, sepanjang masa; Pendidikan yang dianjurkan tidak mengenal batas waktu, tidak mengenal umur. Seumur hidup manusia harunya terdidik, mulai dari lahir sampai ke liang lahat. Seluruh kehidupan kita digunakan sebagai proses pendidikan, sebagai proses untuk menjadi hamba yang baik, menjadi insan kamil.
g) Prinsip diri; Orang telah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Sebenarnya sudah mati sebeluhm mereka hidup, sebab tidak bisa melihat dunia dengan potensi panca indranya sendiri. Manusia adalah makhluk yang sempurna dengan berbekal akal, perasaan yang bisa dikembangkan. dengan inilah harkat manusia lebih tinggi di banding makhluk lainya. Atau bahkan karena akalnyapun manusia bisa unggul dari manusia satu dengan manusia lainya.

Hal diatas merupakan konsep pendidikan Islam yang ideal, tetapi bagaimana realitas pendidikan Islam sekarang? Problem pendidikan Nasional kita tidak bisa di anggap pemasalahan yang ringan, prestasi pendidikan kita jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Ketertinggalan pembanganan pendidikan Indonesia tercermin dalam Human Development index Report (1999), yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-105 se-Asia Tenggara, sungguh prestasi yang tidak membanggakan. Problem pendidikan kita adalah problem sistemik pendidikan artinya; permasalahan menyangkut keseluruhan komponen pendidikan, mulai dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan sistem pendidikan nasional, manajerial pemerintah, kompetensi guru/dosen, sarana-prasarana, kurikulum, dukungan masyarat dan lain sebagainya. Oleh karena itu penangannya juga harus melibatkan berbagai pihak, dan sudah seharusnya permasahan ini merupakan tanggung jawab kita bersama.

Paradigma Pendidikan Islam dan Pengembangannya
Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapakan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam. Namun pertanyaan selanjutnya; apa saja aspek-aspek kehidupan itu? Jawaban pertanyaan ini setidaknya muncul bebarapa paradigma pengembangan pendidikan Islam yaitu: pertama; paradigma Formisme; kedua; paradigma mekanisme dan ketiga paradigma organisme .
Pertama; paradigma Formisme; dalam paradigma ini aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi atau distrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan seperti; laki-laki dan perempuan, STAIN/IAIN dan Non STAIN/IAIN, madrasah dan non Madrasah, pendidkan keagamaan dan non keagamaan, demikian seterusnya, pandangan ini berlanjut pada cara memandang aspek kehidupan dunia dan akherat. Kehidupan jasmani dan rohani sehingga pendidikan Islam hanya dietakkan pada kehidupan akherat saja atau kehidupan rohani saja. Oleh kerena itu pengembangannya (PAI) hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, pendidikan (agama) Islam hanya berkutat mengurusi persoalan ritual dan priritual, sementara kehidupan sosial ekonomi politik, ilmu pengetahuan, teknologi dan lainya dianggap sebagai bidang duniawi yang menjadi bidang garap pendidikan umum. Istilah pendidikan agama dan pendidakan umum sebenarnya muncul dari paradigma formisme tersebut.
Kedua; paradigma mekanisme, paradigma ini memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nila politik, nilai ekonomi, nilai rasional dan sebagainya.sebagai impliksinya, pengembangan pendidikan Islam tersebut bergantung pada kemauan, kemampuan, dan political-will dari para pembinaya dan sekalius pimpinan dari lembaga tersebut. Terutama dlam membangun kerjasama dengan mata pelajaran/kuliah lain. Hubungan antara pendidikan agama dengan beberapa metapelajaran dapat bersifat horisontal lateral (Indipendent), lateral-sekuensial, atau bahkan vertikal linear.
Ketiga paradigma organisme, paradigma ini memandang bahwa Islam adalah kesatuan atau sebagai sistem (yang terdiri atas berbagai komponen) yang berusaha mengembangkan pandangan/semangat hidup (weltanschanauung) Islam, yang dima nifestasikan pada sikap hidup dan keterampilan hidup yang Islami.melalui upaya ini maka sistem pendidikan Islam diharapkan dapat diintegrasikan nilai-nilai Ilmu pengetahuan, ilmu agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memilki pematangan profesional, dan sekaligus hidup dalam nilai-nilai agama.
Dari ketiga paradigma diatas, berkembang pemahaman ditengah masyarakat yang cengderung lebih memilih lembaga pendidikan umum dari pada lembaga Islam, karena pertimbangan kualitas lembaga Islam yang setingkat dibawah lembaga pendidikan umum, hal ini perlu di sikapi dengan positif dengan semangat memajukan lembaga pendidikan agama Islam.
Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada umumnya para ulama berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah ”untuk beribadah kepada Allah SWT” Kalau dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa, maka dalam konteks pendidikan Islam justru harus lebih dari itu, dalam arti, pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan untuk mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa, tetapi justru berusaha mengembangkan manusia menjadi Imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertaqwa (waj’alna li al-muttaqina imaama) .
Untuk memahami profil imam/pemimpin bagi orang yang bertaqwa, maka kita perlu mengkaji makna takwa itu sendiri. Inti dari makna takwa ada dua macam yaitu; itba’ syariatillah (mengikuti ajaran Allah yang tertuang dalam al-qur’an dan Hadits) dan sekaligus itiba’ sunnatullah (mengikuti aturan-aturan Allah, yang berlalu di alam ini), orang yang itiba’ sunnatullah adaalah orang-orang yang memiliki keluasan ilmu dan kematangan profesionalisme sesuai dengan bidang keahliannya. Imam bagi orang-orang yang bertaqwa, artinya disamping dia sebagai orang yang memiki profil sebagai itba’ syaria’tillah sekaligus itba’ sunnahtilah, juga mampu menjadi pemimpin, penggerak, pendorong, inovator dan teladang bagi orang-orang yang bertaqwa
Menyadari bahwa pendidikan, sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang ahli pendidikan, Christoper J. Lucas, adalah sebagai basis penyimpanan kekuatan yang luar biasa. Yakni memiliki akses ke seluruh aspek kehidupan, memberi informasi yang paling berharga mengenai pegangan hidup di masa depan serta membantu generasi dalam mempersiapkan kebutuhan esensialnya dalam menghadapi perubahan, maka ke depan reorientasi pendidikan Islam perlu diarahkan pada pemberian ruang gerak yang seluas-luasnya pada fungsi esensial dari pendidikan . Dengan demikian lembaga pendidikan Islam tidak sekedar mendapatkan pengakuan peran kualitatif, melainkan yang lebih penting lagi adalah untuk merebut pengakuan kualitatif dari masyarakat atau pemerintah
Ini memang merupakan suatu pekerjaan yang besar yang perlu mendapat dukungan dari segenap unsur dan kelompok baik dari penyelenggara maupun pemikir pendidikan. Akan tetapi apapun perubahan yang ingin diraih, kebijakan-kebijakan dalam pengembangan pendidikan Islam perlu mengakomodasi tiga kepentingan , yaitu:
Pertama, kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh bagi aspirasi umat Islam, yakni menjadikan lembaga pendidikan Islam sebagai wahana untuk membina ruh atau praktek hidup yang Islami.
Kedua, kebijakan yang ditempuh harus lebih memperjelas dan memperkukuh keberadaan Lembaga Pendidikan Islam sebagai ajang pembinaan masyarakat sehingga mampu melahirkan generasi yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian serta produktif sederajat dengan sistem sekolah. Ini dimaksudkan agar Lembaga Pendidikan Islam sanggup mengantarkan peserta didik menguasai dasar-dasar pengetahuan secara memadai, baik dalam bidang bahasa, matematika, fisika, kimia, biologi, ilmu pengetahuan sosial dan pengetahuan kewarganegaraan serta sebagai tempat pengemblengan diri untuk menumbuhkan kreativitas seni, mengembangkan keterampilan dan etos kerja.
Ketiga, kebijakan yang dijalankan hendaknya harus bisa dan mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan. Untuk itu Lembaga Pendidikan Islam seyogyanya diarahkan untuk melahirkan sumber daya manusia memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, era industrialisasi dan era informasi. Serta menjadi tumpuan dalam memperbaiki bangsa ini.

Membangun Pendidikan Yang Bermutu
Lembaga pendidikan Islam harus ditata kembali sehingga program pendidikannya berorientasi pada pencapaian dan penguasaan kompetensi tertentu, oleh karena itu lembaga pendidikan Islam harus mempunyai sifat; (a) Multiprogram dan multistrata dan berorientasi pada tujuan perpektif dan kebutuhan deskriptif, (b) setiap program disusun dengan menggunakan prinsip pemaduan kompetitif kognitif, afektif, dan “akhlak” (c) Diversifikasi program ditata sesuai dengan kebutuhan yang nyata di dalam masyrakat yang berorientasi pada penampilan perilaku anak didik yang mempunyai rasa tanggung jawab .
Disamping madrasah kita mengenal PTI (Perguruan Tinggi Islam) Sebagai salah satu bagian dari Lembaga Pendidikan Islam dan juga sekaligus sebagai center model bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam di bawahnya, perguruan tinggi Islam(PTI) juga perlu melakukan introspeksi dengan merenungkan kembali apa yang sebe¬narnya mereka cari dengan mendirikan PTI itu (popula¬ritas, uang, pekerjaan, dakwah, penyiapan generasi muda muslim, daripada nganggur, atau yang lain). PTI perlu kembali ke khittah atau mencari kembali khittah nya yang hilang.
PTI perlu merumuskan misi, tujuan, dan visinya di masa depan. Berdasarkan rumusan misi, tujuan, dan visi ke masa depan itu, PTI perlu melakukan pembenah¬an pembenahan terhadap komponen komponen pendi¬dikannya, seperti kurikulum, dosen, proses belajar meng¬ajar, fasilitas belajar, manajemen pendidikan, dan ling¬kungan belajar. Kurikulum PTI perlu diusahakan agar relevan, efektif, efisien, dan luwes dengan fokus sasaran yang jelas dan dapat diukur. Relevan artinya sesuai de¬ngan kebutuhan masyarakat; efektif artinya ada bekas¬nya (dampaknya) bagi pengetahuan dan keterampilan mahasiswa; efisien artinya tujuan itu dicapai dengan penggunaan waktu, dana, dan tenaga yang sehemat mungkin; dan luwes dalam arti mudah disesuaikan de¬ngan kebutuhan mahasiswa dan masyarakat. Kurikulum yang luwes akan memungkinkan mahasiswa, dengan latar belakang yang berbeda beda, untuk mencapai tuju¬an kurikuler yang ditetapkan. Kualitas dosen juga perlu ditingkatkan, baik di bidang penguasaan ilmu, keteram¬pilan mengajar, maupun cara mengevaluasi hasil kuliah. Kualitas dosen ini penting karena merekalah ujung tom¬bak di ruang belajar dan the man behind the gun yang menentukan kualitas layanan pendidikan di PTI.
Banyak diantara Lembaga Pendidikan Islam itu yang tidak berorientasi pada kebutuhan masyarakat sehingga banyak lulusannya tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai dengan ijazahnya dan berkompeten dibidangnya. Koordinasi di kalangan Lembaga Pendidikan Islam juga amat lemah, padahal mereka mempunyai ciri dan tujuan yang sama. Di antara Lembaga Pendidikan Islam itu memang ada yang mempunyai jaringan/koordinasi satu sama lain, tetapi lebih banyak lagi yang berdiri sendiri-sendiri dan tak terkoordinasi. Akibatnya secara kuantitatif Lembaga Pendidikan Islam memang banyak tetapi kecil-kecil dan tak berarti. Jika dilihat dari segi kualitasnya, hanya sedikit diantara mereka yang dapat dibanggakan.
Tampak betapa besar arti penting dan strategis pendidikan. Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan seseorang, sehingga ia menjadi lebih produktif dan karena itu dapat meningkatkan penghasilan secara memadai untuk kemudian mendorong peningkatan kesejahteraan yang akhirnya akan berpengaruh pula terhadap peningkatan derajat kesehatan dan gizi (nutrisi). meningkatkan mutu dan standar hidup, sebab pendidikan membuat individu dan masyarakat lebih terpelajar sehingga secara sosial menjadi lebih kuat.
Dengan memperhatikan berbagai masalah itu, maka perhatian utama harus dipusatkan pada usaha memperbaiki kinerja pendidikan mulai dari pendidikan yag terrendah sampai ke jengjang perguruan tinggi. Untuk itu, perlu dilakukan langkah-langkah strategis.
Pertama, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran, yang bisa ditempuh melalui (i) perbaikan kurikulum yang kandungan materinya dapat menstimulasi siswa untuk meningkatkan kemampuan membaca-menulis, berhitung, dan keterampilan memecahkan masalah; (ii) menyediakan sumber-sumber pembelajaran secara memadai seperti peralatan dan buku pelajaran serta buku bacaan lainnya; (iii) menambah jumlah jam pelajaran untuk mata pelajaran pokok seperti matematik, IPA, dan bahasa; (iv) menciptakan suasana pembelajaran (metode) di kelas yang menarik, pemanfaatan media, dan merencanakan materi pelajaran secara baik.
Kedua, meningkatkan mutu guru/dosen, yang bisa ditempuh dengan cara (i) melaksanakan pre-service training bagi guru yang dikonsentrasikan pada penguasaan materi, pengembangan kemampuan mengajar, dan pemahaman serta penguasaan metodologi pengajaran, (ii) memberdayakan dan memotivasi guru dengan cara meningkatkan kesejahteraan dan memberi jaminan pengembangan karier, serta (iii) menciptakan lingkungan kerja yang kondusif.
Ketiga, menata/membenahi manajemen pendidikan yang dapat ditempuh melalui (i) restrukturisasi organisasi untuk menentukan batasan kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sekolah bahkan sekolah semestinya diberikan kewenangan yang lebih besar (isu desentralisasi) agar dapat mengelola kegiatan belajar-mengajar secara lebih efektif dan efisien, (ii) membangun sistem informasi yang baik melalui riset, monitoring, dan pengumpulan data berkaitan dengan evollment, input, dan pembiayaan pendidikan, serta (iii) meningkatkan kemampuan manajerial dengan membuka peluang mengembangkan profesionalisme dan meningkatkan insentif, memperjelas peluang pengembangan karier bagi staf manajemen, dan memantapkan sistem untuk memudahkan penilaian kinerja penyelenggaraan pendidikan
Disadari, pendidikan merupakan masalah krusial dan kompleks, yang perlu ditangani bersama antara pemerintah dan masyarakat. Salah satu persoalan krusial adalah keterbatasan kemampuan (pemerintah) dalam menyediakan anggaran yang memadai, guna mendukung usaha membangun pendidikan yang bermutu. Dalam hal ini harus diakui, kontribusi masyarakat sangat besar melalui partisipasi mereka dalam penyelenggaraan pendidikan secara mandiri (swadaya). Partisipasi masyarakat itu, secara finansial, berarti telah membantu pemerintah menanggung atau menyediakan dana pendidikan. Berkat partisipasi masyarakat, beban pemerintah menjadi berkurang.
Selain perlu mendapat dukungan anggaran secara memadai, ikhtiar membangun pendidikan bermutu juga harus didukung perangkat sistem yang baik. Menurut studi Bank Dunia (1999) ada tiga pilar utama yang menopang sistem pendidikan yang baik, (i) akses, (ii) kualitas, dan (iii) dukungan.
Berkaitan dengan masalah akses mengandaikan terbukanya kesempatan bagi tiap orang untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Masalah akses mencakup tiga hal: (1) kesiapan murid untuk belajar di sekolah yang mensyaratkan (i) terpenuhinya gizi, tingkat kesehatan yang baik, dan tersedianya gedung sekolah tempat belajar yang cukup, (ii) adanya dukungan orangtua dan keluarga, (iii) lingkungan belajar yang mendukung (kondusif); (2) lingkungan pembelajaran di sekolah yang mensyaratkan (i) kepemimpinan kepala sekolah yang memahami masalah pendidikan, (ii) kejelasan tujuan dan harapan pelaksanaan pendidikan, (iii) terbukanya peluang untuk memperoleh fasilitas; dan (3) kesempatan dan peluang bagi semua pihak yang mensyaratkan (i) adanya pemerataan pada semua jenjang pendidikan, (ii) diberikannya kesempatan bagi anak-anak kurang mampu (secara ekonomi) dan anak-anak penyandang cacat (disable), (iii) tersedianya sumber-sumber pembelajaran: peralatan dan buku pelajaran secara memadai.
Adapun masalah kualitas berhubungan dengan tiga hal. (1) kurikulum yang relevan yang mensyaratkan (i) memenuhi sejumlah kompetensi guna menjawab tuntutan dan tantangan arus globalisasi, (ii) berkontribusi pada pembangunan sosial dan kesejahteraan masyarakat, dan (iii) bersifat lentur dan adaptif terhadap perubahan; (2) dukungan kepada staf yang ditandai (i) memberi pelatihan menurut bidang studi dengan melakukan pembaruan secara reguler, (ii) memberi gaji memadai dan membuka peluang pengembangan karier profesional; dan (3) proses belajar mengajar yang baik yang ditandai (i) tercapainya materi yang menjadi sasaran pembelajaran, (ii) materi yang diberikan relevan dengan kebutuhan di masyarakat, (iii) berorientasi pada hasil dan out-put, (iv) monitoring dengan kualitas yang terjaga secara ketat dan terjamin dengan baik.
Mengenai masalah dukungan berkaitan dengan tiga hal. (1) pemerintahan yang baik yang mensyaratkan (i) kejelasan tanggung jawab dan pertanggungjawaban, (ii) adanya analisis kebijakan dan kapasitas perencanaan, (iii) desentralisasi pengambilan keputusan; (2) tersedianya sumber daya yang meliputi (i) pengaturan dan pengelolaan atas kontribusi/partisipasi swasta, (ii) pengaturan alokasi dana publik, (iii) kontrol terhadap pemanfaatan sumber daya secara efektif dan efisien; dan (3) sistem evaluasi yang mensyaratkan (i) adanya sistem informasi yang baik, serta (ii) monitoring dan umpan-balik guna meningkatkan kualitas perencanaan di masa datang.
Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari al-Qur'an. Semakin kita kaji sepertinya semakin luas dan besar kandungannya. al-Qur'an mengajarkan konsep/prinsip dasar yang harus kita kaji dan kembangkan sendiri. Nantinya al-Qur'an akan hadir secara fungsional untuk menjawab problem keummatan termasuk di dunia pendidikan Islam khususnya di Indonesia.
Demikianlah, kita semua menginsyafi, pendidikan merupakan persoalan strategis bagi sebuah bangsa. Pendidikan bukan saja penting bagi upaya melahirkan individu dan masyarakat yang terpelajar, tetapi juga untuk membangun generasi baru yang siap menghadapi tantangan masa depan. Selain itu, pendidikan juga menjadi bekal utama sebagai persiapan memasuki kompetisi global, sebuah persaingan antarbangsa yang demikian ketat dan berpengaruh terhadap semua dimensi kehidupan: ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Pada akhirnya pendidikan juga akan menentukan kualitas sebuah bangsa, serta berpengaruh signifikan dalam mendorong proses transformasi sosial menuju kehidupan yang maju, modern, dan bermartabat.
Wallahu a'lam bi showab.

DAFTAR PUSTAKA
al-Abrasy M. Athiyah. 1968. At-Tarbiyah al-Islamiyah (terj; Bustami A.Goni, dan Djohar Bakry) Bulan Bintang. Jakarta.
Al-Abrasy M. Athiyah. 1969. At-Tarbiyah al-Islamiyah wal Falsafatuha, Isa al-Baby al-Halaby.Qahirah
al-Attas An Naquib, 1988. Konsep Pendidikan Dalam Islam. Mizan. Bandung..
al-Attas. Syeh Muhammad al- Naquib Aims and Objektive of Islamic education .
Alhumami Amich (The World Bank, Primary Education, 1990); artikel lepas; Membangun Pendidikan Yang Bermutu
al-Munawwar Aqil Said Husein, 2005. Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani: Dalam Sistem Pendidikan Islam, Ciputat Press. Ciputat
al-Qurtubi Ibnu Abdillah Muahammad bin Ahmad al-Ansari, tt. Tafsir al-Qurtubi. Durusy. Cairo.
Anis Ibrahim. 1972. Al-Mu’jam al-Wasit. Angkasa. Jakarta..
Asegaf, Abd. Rachman. 2005; Politik Pendidikan Nasional; pergeseran KebijakanPendidikan Agama Islam dari Proklamasi ke Reformasi. Kurnia kalam.Yogjakarta;.
Ashraf Ali. 1989. Horison Baru Pendidikan (Islam dan Umum). Pustaka Firdaus. Jakarta..
Furchan Arief, 2004; Transformasi Pendidikan Islam Di Indonesia; Anatomi Keberadaan Madrasah dan PTAI, Gama Media, Yogyakarta.
Jalal Abdul Fattah. 1977.Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam. Darul Kutub Misriyah. Mesir.
Jusuf Amir Feisal, 1995; Reorientasi Pendidikan Islam, Gema Insani Press. Jakarta.
Langgulung Hasan. 1980. Asas-asas Pendidikan Islam. Pustaka al-Husna. Jakarta.
Ma’luf Louis. 1960. Al-Munjid fi lughah.Dar al-Masyriq. Beirut.
Marimba Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Al-Ma’arif. Bandung.
Muhaimin, 2002; Paradigma Pendidikan Islam; upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah; Rosda karya; Bandung
Nasir, Ridwan 2005. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal ( Pondok Pesantren ditengah Arus Perubahan), Pustaka Pelajar. Yogyakarta..
Noor Deliar, 199; Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 LP3ES. Jakarta.
Razi. Fathur. tt Tafsir Fathur Razi. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Teheran
Ridho Rasyid. 1373 H Tafsir al-Manar. Dar al-Manar..
Steeinbrink Karel A., 1986; Pesantren, Madrasah dan Sekolah : Pendidikan Islam Kurun Modern . LP3ES. Jakarta
Syahminan Zaini. 1986. Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam. Pustaka al-Husna. Jakarta
Syam Muhammd Noor, 1989.Filsafat Pendidikan da n Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Usaha Nasional. Surabaya
Tafsir Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Rosda Karya. Bandung
Tilaar H.A.R., 2004; Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Grasindo, Jakarta
Yunus Mahmud, 1995; Sejarah Pendidikan Islam. Mutiara Sumber Nidya, Jakarta
Zuhairini. 1950. Metodik pendidikan Islam. IAIN Tarbiyah Sunan Ampel Press. Malang.



* M. Fakhruddin adalah Alumni Tarbiyah UIN Malang dan sekarang melanjutkan di UIN Sunan Kali jaga Yogyakarta

Minggu, 05 Juli 2009

Sistem Pendidikan Terpadu
Pada hakikatnya, kehidupan manusia sangat berkaitan erat dengan persoalan pendidikan dan itu berlaku sepanjang hidup (life long education). Kehidupan manusia adalah persoalan pendidikan sedangkan persoalan pendidikan merupakan cerminan kehidupan. Pendidikan meliputi setiap aspek hidup, pendidikan berlangsung sepanjang manusia berada dalam eksistensi saling berhubungan baik dengan alam, sesama manusia, bahkan dengan dirinya sendiri. Kegiatan pendidikan berlangsung ketika manusia begaul, bekerja, dan melakukan segala kegiatan sepaanjang kehidupan.
Pendidikan seharusnya diselenggarakan secara terpadu dan berkelanjutan mulai dari tahap pendidikan keluarga, pendidikan sekolah maupun pendidikan masyarakat. Hal apa sajakah yang harus dipersiapkan oleh orang tua untuk menyongsong setiap kelahiran putra-putrinya. Orang tua perlu menyiapkan sesuatu kepada anak-anaknya dalam menghadapi tahapan pendidikan disekolah.
Pihak lembaga pendidikan sekolah mempersiapkan progam pendidikan yang real. Pendidikan keluarga memberikan masukan terhadap pendidikan sekolah, dan masukan itu dikembangkan menurut sistem pembelajaran yang rasional dan dapat dilaksanakan.
Kemudian masyarakat sendiri memperluas moralitas kependidikan kedalam setiap jenis kegiatan bidang kehidupan. Masayarakat harus meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga kependidikanya.

Sabtu, 13 Juni 2009

Peranan Perempuan dalam Politik Terbentur Budaya Patriarki
Solo, Kompas - Peranan perempuan dalam politik terutama dalam Pemilihan Umum 2004 mendatang masih terbentur pada budaya patriarki yang sudah mengakar di Indonesia. Budaya ini dapat menghambat aktivitas perempuan dalam berpolitik. Apalagi untuk perempuan yang sudah menikah.
Demikian diungkapkan Ketua Departemen Perempuan Partai Persatuan Oposisi Rakyat (PPOR) Vivi Widyawati dalam seminar Pemilu 2004 dan Peluang Politik Perempuan yang diselenggarakan Solidaritas Perempuan Untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK HAM) di Solo, Selasa (30/9).
Menurut Vivi, budaya patriarki telah menenggelamkan kaum perempuan tidak hanya dalam wilayah domestik, tetapi juga telah memasung kaum perempuan dengan menempatkan posisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya kaum perempuan. Perempuan juga tidak punya peranan dalam dunia politik.
"Untuk suatu perubahan agar perempuan mempunyai peranan dalam berpolitik atau mengubah budaya patriarki itu juga membutuhkan suatu proses. Apalagi, budaya patriarki ini sudah dialami oleh hampir semua perempuan dari kelas mana pun," papar Vivi.
Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Solo Hadi Rudyatmo menyatakan, jika kita mengukur partisipasi politik perempuan, tentang persamaan hak untuk memilih dan dipilih, terlihat bahwa perempuan lebih banyak digunakan sebagai alat untuk memobilisasi selama pemilu.
Hadi menjelaskan, dalam perjalanan sejarah pemilu yang sudah dilakukan enam kali, pilihan perempuan Indonesia bukanlah pilihan yang mandiri, tetapi ikut suami.
Perempuan tidak mandiri melakukan pilihannya. Misalnya saja dari penelitian Institute for Policy and Community Development Studies (IPCOS) Indonesia, pada Pemilu 1997 hanya 13 persen perempuan yang membuat pilihan politik secara independen dan 83 persen membuat pilihan politik berdasarkan referensi dari suami.
"Kebanyakan perempuan menganggap ikut serta dalam pemilu adalah sebagai kewajiban dibandingkan hak setiap warga negara yang bertanggung jawab," ungkap Hadi. (sie)


http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0310/02/jateng/598911.htm

Rabu, 27 Mei 2009

Struktur Laporan Kemajuan PKM-Kewirausahaan

Struktur Laporan Kemajuan PKM-Kewirausahaan

Laporan Kemajuan untuk tidak di tulis lebih dari 10 halaman, dengan spasi 1,0 time new roman style dan font 12.
berikut strukturnya:
1. Target Luaran
2. Metode
3. Ketercapaian Target Luaran
4. Permasalahan dan Penyelesaiannya
a) Administrastif
b) Teknis
c) Organisasi Pelaksana
d) Keuangan
e) Lain-lain
5. Penggunaan Biaya
6. Dokumentasi Kegiatan

KONSEP ISLAM TENTANG FITRAH MUNAZALAH

KONSEP ISLAM TENTANG FITRAH MUNAZALAH


A. PENDAHULUAN
Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya diketahui sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam betul lahir pada mulanya hanya sebagai agama di Mekkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi Negara, selanjutnya membesar di Damsyik menjadi kekuatan politik internasional yang luas daerahnya dan akhirnya berkembang di Baghdad menjadi kebudayaan bahkan peradaban yang tidak kecil pengaruhnya.
Dengan berkembangnya Islam, tidak terlepas dari campur tangan Allah SWT yang telah mengutus Nabi dan Rasul-Nya dengan memberinya wahyu (Kitabullah) sebagai pedoman hidup dalam memberikan petunjuk jalan kebenaran terhadap umat-umatnya.
Hal ini juga merupakan fitrah munazalahnya wahyu, yaitu bentuk petunjuk al Qur’an dan Sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi Fitrah inheren dalam diri manusia yang memberi daya akal yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia (Fitrah Al-Gharizah).
Al-Qur’an di turunkan atas kasih sayang Allah SWT sebagai hidayah bagi manusia di bumi. Hal ini terkait tugas manusia yang sangat besar dan berat, yang tidak cukup diatasi dengan akal rasio saja. Akan tetapi, manusia diberi kebebasan untuk menerima atau menolaknya. Bagi mereka yang menerima wahyu (al-Qur’an) tersebut akan memperoleh rasyad (bimbingan) akal rasionya yang kadang-kadang mengalami kekacauan. Maka wahyu yang berperan menyempurnakan kekacauan tersebut.
Dengan uraian diatas pembahasan fitrah munazalah tidak terlepas dari hubungan akal dan wahyu yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas pengertian akal dan wahyu, fungsi dan kedudukan akal dan wahyu, tujuan pokok wahyu (al-Qur’an), serta cara penyampaian wahyu terkait terjadinya komunikasi antara Tuhan dan nabi-nabi.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Akal dan Wahyu
a. Akal
Akal berasal dari bahasa Arab aqala-ya’qilu yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al-aql sering disebut sebagai lafzh musytarak yakni kata yang memiliki banyak makna.
Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun ruhaniyyun bihi tudriku a-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera (Shobron, 2006: 4).
b. Wahyu
Kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahyu. Dan ia merupakan kata asli Arab, bukan karena pinjaman dari bahasa asing. Kata itu memiliki arti suara, api dan kecepatan. Al-Wahyu juga sering diartikan sebagai bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Oleh karenanya, wahyu dipahami sebagai pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat.
Di dalam al-Qur’an juga terdapat penggunaan kata wahyu dalam pengertian lain, antara lain mempunyai pengertian ilham, seperti terdapat dalam Q.S al-Zalzalah: 5 yang artinya “Karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.” (Daradjat dkk, 1984: 170).
Dalam wacana keagamaan (Islam), wahyu lebih dimaknai sebagai pemberitaan, risalah dan ajaran Allah yang diberikan kepada Nabi dan Rasul-Nya. Dengan demikian, dalam kata wahyu terkandung arti penyampaian sabda atau firman Allah kepada orang-orang yang menjadi pilihan-Nya (Nabi dan Rasul) untuk diteruskan kepada umat manusia sebagai pegangan dan panduan hidup (Shobron, 2006: 4).
Dengan mengetahui pengertian akal dan wahyu, kita dapat mengetahui betapa keduanya saling berhubungan erat. Jika salah satunya ditinggalkan (wahyu) pasti terjadi kekacauan dalam berfikir dan nantinya akan menjerumuskan manusia kejurang kesesatan.

2. Fungsi dan Kedudukan Wahyu dan Akal dalam Memahami Islam
Manusia dalam kehidupan memiliki barometer bagi keberadaannya di bumi, yaitu dalam penggunaan akal. Manusia yang tidak menggunakan akal yang terdiri dari daya pikir dan qalbu, maka hilanglah ciri dari sifat kemanusiaannya. Namun, penggunaan akal yang berlebihan dan diluar proporsinya, juga akan menyebabkan tergelincirnya manusia kelembah dosa dan kesesatan.
Oleh karenanya dalam memahami Islam, akal memiliki kedudukan dan fungsi sebagai berikut:
1) Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran Islam.
2) Akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian al-Qur’an dan Sunnah.
3) Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan semangat al-Qur’an dan Sunnah untuk dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihad.
4) Akal juga berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan al-Qur’an dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi seisinya (Shobron, 2006: 15)
Namun demikian, bagaimanapun hasil akhir pencapaian akal perlu adanya korelasi, perubahan, dan penyempurnaan agar tidak berseberangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Selanjutnya mengenai fungsi dan kedudukan wahyu dalam memahami Islam adalah:
1) Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran Islam. Seluruh pemahaman dan pengamalan ajaran Islam harus dirujukkan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, jika dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam tidak merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah adalah tidak tepat dan hanya omong kosong belaka.
2) Wahyu sebagai landasan etik. Karena wahyu itu akan dapat berfungsi bila akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami Islam harus dibimbing oleh wahyu, agar hasil pemahamannya benar dan pengamalannya juga benar. Sehingga akal tidak boleh melenceng dari prinsip-prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu (Shobron, 2006: 16).
3. Tujuan Pokok Wahyu (al-Qur’an)
Adapun tujuan pokok wahyu (al-Qur’an) sebagai berikut:
1) Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan dan keEsaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
2) Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
3) Petunjuk mengenal syariat hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dan hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya atau dengan kata lain al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan di dunia dan di akherat (Mahmud, 1986: 14).

4. Cara Penyampaian Wahyu
Penjelasan tentang cara penyampaian wahyu terkait terjadinya komunikasi antara Tuhan dan para Nabi, diberikan oleh al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat dari surat al-Syura menjelaskan yang artinya:
Tidak terjadi bahwa Allah berbicara kepada manusia kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tabir, atau dengan mengirimkan seorang utusan, untuk mewahyukan apa yang Ia kehendaki dengan seizin-Nya. Sesungguhnya ia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana (Q.S. as-Syura: 51).
Jadi, menurut ayat al-Qur’an diatas ada tiga cara, pertama melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham, kedua dari belakang tabir sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa, dan ketiga melalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.
Selanjutnya dalam surat al-Baqarah juga dijelaskan yang artinya:
Katakanlah: Barang siapa memusuhi Jibril, maka ialah yang menurunkan (al-Qur’an) ke dalam kalbumu dengan seizin Allah, dengan membenarkan apa yang diturunkan sebelumnya dan untuk menjadi bimbingan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman (Q.S. al-Baqarah: 97).
Ayat ini dengan jelas menggambarkan bahwa firman Allah sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w melalui Jibril sebagai utusan Tuhan, jadi bukan melalui ilham ataupun dari balik tabir.
Sebagai telah digambarkan diatas dalam konsep wahyu terkandung pengertian adanya komunikasi antara Tuhan, yang bersifat imateridan manusia yang bersifat materi.
Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat di hati sanubari. Filosof Islam mempertajam daya fikir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada ha-hal yang bersifat murni abstrak, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada penyucian jiwa dengan banyak beribadat dan mengingat Tuhan, kalbu seorang sufi akan menjadi bersih, sehingga ia dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan. Akan tetapi, keduanya dalam berkomunikasi dengan Tuhan tidak sampai mengambil bentuk wahyu, karena wahyu adalah khusus bagi nabi-nabi (Nasution, 1986:18).
Adanya komunikasi antara orang-orang tertentu dengan Tuhan bukanlah hal yang ganjil. Oleh karena itu, adanya dalam Islam wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad s.a.w, bukanlah suatu hal yang tidak dapat diterima akal.

C. PENUTUP
Dari uraian yang telah diberikan diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep Islam tentang fitrah munazalah (diturunkannya wahyu) kepada umat manusia di bumi adalah sebagai pedoman hidup dalam penggunaan akalnya, agar tidak terjerumus ke jurang kesesatan.
Fungsi dan kedudukan wahyu sangatah penting dalam memahami Islam, yaitu sebagai rujukan dalam pengamalan ajaran Islam itu sendiri. Akan tetapi, disini akal juga berperan penting dalam memahami isi kandungan wahyu (al-Qur’an) yaitu: upaya menangkap pesan-pesan yang terdapat didalamnya dan menjabarkannya.
Wahyu diturunkan Tuhan dalam wujud imateri yang penyampaiannya hanya diberikan kepada para Nabi melalui malaikat Jibril, sedangkan kepada manusia selain nabi-nabi-Nya tidak dapat dikatakan sebagai wahyu. Sehingga tidak ada lagi keraguan tentang turunnya wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad s.a.w berupa al-Qur’an.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan uraian dalam makalah ini dapat memberikan tambahan khasanah keilmuan bagi para pembaca, khususnya bagi penulis sendiri. Kami merasa masih banyak sekali kekurangan dalam makalah ini, baik dari segi isi maupun dari segi penulisannya. Oleh karena itu, kami harapkan kritik dan sarannya demi perbaikan makalah ini, sehingga dapat menjadi lebih baik lagi.













KONSEP ISLAM TENTANG FITRAH MUNAZALAH



Oleh:

Safrudin Wakhid
G 000 050 004







JURUSAN TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2009
DAFTAR PUSTAKA

Daradjat, Zakih dkk. 1984. Dasar-Dasar Agama Islam: Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi. Bulan Bintang: Jakarta.

Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Universitas Indonesia Press: Jakarta.

Shobron, Sudarno. 2006. Studi Islam 3. LPID UMS: Surakarta.

Selasa, 14 April 2009

SAINS

Makna Sains Islam

Memahami makna sains Islam tidak cukup dengan sebuah atau dua buah definisi. Ini tidak berarti bahwa sains Islam tidak definitive dan tidak jelas identitasnya. Sebab sebuah konsep ia memerlukan penjelasan-penjelasan dan pendekatan yang komprehensif. Ini dilatarbelakangi oleh suatu kondisi dimana sains Barat Modern dengan globalisasi, westernisasi dan berbagai macam pahamnya tersebar ke seluruh dunia, termasuk dunia Islam, sehingga Muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas sains Islam dan sains Barat. Inilah yang disebut oleh Professor al-Attas sebagai loss of adab yang juga berarti loss of identity. Bahkan antara umat Islam tidak saja kesulitan mengidentifikasi diri, tapi sinis, takut dan malu dengan identitas Islam dan bahkan dia mencemooh identitas itu. Tidak sedikit cendikiawan Muslim yang masih canggung dengan identitas atau sifat “Islam” pada ilmu sosiologi, ilmu fisika, ilmu psikologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dsb. Padahal ketika seseorang menyebut “sains modern” (modern sciences) atau sains Barat (Western Sciences), tanpa disadari, ia telah meletakkan suatu identitas sains tersebut, yaitu sains yang diproduksi oleh idiologi, kepercayaaan dan pandangan-pandangan yang berasal dari peradaban Barat. Demikian pula dengan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, politik, sosiologi dan lain sebagainya.
Dampak dan hilangnya identitas dapat diamati dari berbagai pernyataan pernyataan cendikiawan Muslim mengenai hal ini. Jamaluddin al-Afghani misalnya menyatakan:
“Barangsiapa yang melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya. Agama Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan ilmu pengetahuan, dan tidak ada ketidaksesuaian antara sains dan ilmu pentetahuan dengan dasar-dasar agama.”
Sikap al-Afgani sejalan dengan sikap Sir Syed Ahmad Khan. Bagi Khan Karya Tuhan tidak akan bertentangan dengan kata atau firman-Nya. Jadi tidak mungkin sains bertentangan dengan agama. Dengan nada yang agak berbeda Fazlur Rahman juga setuju. Baginya ilmu netral tergantung kepada siapa yang menggunakannya. Baik al-Afghani, Ahmad Khan maupun Rahman tidak menjelaskan dan mungkin tidak menyadari bahwa Sains yang dipelajari umat Islam yang di abad 19 dan 20 adalah sains Barat. Sains yang lahir dari kepercayaan, kultur dan pandangan hidup manusia barat yang sekuler.
Sikap-sikap diatas bagi Sayyed Hossein Nasr sama dengan menganggap sains Barat sama dengan sains Islam (‘ilm) dengan alasan karena sains Barat adalah hasil terjemahan dari karya-karya Muslim dalam bidang sains. Namun, para pemuja sains barat itu, kata Nasr, tidak meyadari bahwa setelah diterjemahkan sains Islam itu juga dimoifikasi dan disekulerkan, sehingga sains Modern merupakan produk filsafat sains di era Revolusi Sains dan telah mengalami perubahan paradigm sains abad pertengahan dan periode Renaissance awal.
Selain itu, kebanyakan Muslim berpendirian bahwa sains itu bebas nilai (value free) jadi tidak ada bedanya antara sains Islam dan sains Barat. Pendirian ini, selain tidak menyadari adanya shift of paradigm, jelas-jelas menafikan kenyataan bahwa sains Barat, seperti juga sains lain, itu berdasarkan pada system nilai dan pandangan hidup (world view) tertentu yang akarnya dapat ditelusuri dari asumsi-asumsi para saintis terhadap hakekat realitas fisik, subyek yang memahami realitas itu dan hubungan keduanya. Untuk memperjelas perbedaan antara sains Barat dan dan Sains Islam Ziauddin Sardar menyatakan bahwa:
“Jika sains itu sendiri netral, maka sikap kita dalam mendekati sains itulah yang menjadikan sains itu sekuler atau Islami. Pendekatan Islam mengakui keterbatasan otak dan akal manusia, serta mengakui bahwa semua ilmu pengetahuan itu berasal dari Tuhan.”
Sementara Identitas Sains Barat, sebagaimana disinyalir Maryam Jameelah :
“Sains modern tidak dibimbing oleh atau kehilangan nilai moralnya, bahkan dikuasai oleh materialism dan arogansi. Seluruh cabang ilmu dan aplikasinya telah terkontaminasi oleh borok yang sama.”
Jadi sains Barat tidak netral dan tentu sudah berbeda dengan sains Islam.
Karena sains Barat tidak member tempat pada wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan, maka sains Barat dianggap netral. Di sini netral adalah bebas dari agama. Realitas Tuah tidak menjadi pertimbangan dalam sains Barat, karena Tuhan dianggap tidak riel. Namun sains tidak bebas dari idiologi, kultur, cara pandang dan kebudayaan manusia Barat. Dan ternyata dalam sains sendiri terdapat asumsi-asumsi, doktrin-dktrin yang tidak beda dengan agama. Pada akhirnya doktrin-doktrin sains yang dipercayai sebagai pasti, dipertentangkan dengan doktrin-doktrin agama yang dianggap tidak rasional dan tidak empiris. Yang terpojok dan dipojokkan adalah agama. Agama bahkan dipertanyakan dan dituntut untuk direformasi agar mengikuti asumsi-asumsi sains. Agama jadi termaginalkan dan kini ditinggalkan.
Secara lebih luas lagi, perbedaan sains Barat dan sains Islam dapat ditelusuri dari perbedaan pandangan hidup (worldview) keduanya. Perbedaan pandangan hidup berarti perbedaan konsep-konsep fundamental di dalamnya. Konsep Tuhan, ilmu, manusia, alam, etika, dan agama berbeda antara peradaban satu dengan yang lain. Dalam situasi seperti ini pertemuan keduanya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktanya memang sains Barat Modern itu ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup (worldview) Islam. Dalam Islam pengatahuan tentang realitas itu tidak hanya berdasarkan pada akal saja, tetapi juga wahyu, intuisi dan pengalaman. Tapi sains Barat akal diletakkan lebih tinggi dari wahyu dan bahkan meninggalkan wahyu. Akhirnya, sains tidak berhubungan harmonis dengan agama, bahkan meninggalkan agama.
Sejatinya, dengan memahami sains Barat dan sains Islam dengan konsep worldview, kita dapat dengan mudah mengenal identitas Sains Islam. Sebab dalam Islam cara pandang terhadap alam semesta, terhadap makna realitas, makna ilmu, tata nilai dan moralitas berbeda dengan cara pandang Barat. Menurut pandangan hidup Islam alam semesta ini merupakan Kitab Ciptaan (Created Book) Tuhan. Karena itu alam harus dipahami, dilihat, diamati dan diteliti dengan pandanga hidup Islam. Zaidi Ismail membahas bagaimana Islam memandang alam semesta yang merupakan obyk utama sains. Cara pandang Islam yang direfleksikan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview) itu dapat dilacak dari peristilahan yang digunakan di dalam Al-Qur’an dan Hadith. Istilah-istilah ilmu (‘ilm), Ilmuwan (al-‘alim), alam (al-‘alam) merupakan derivasi dari akar kata yang sama. Ini menunjukkan konsep integral antara subyek ilmu, obyek ilmu dan ilmu itu sendiri. Franz Rosenthal bahkan berani menyimpulkan bahwa ilmu adalah Islam. Alam sebagai sebagai ciptaan diistilahkan sebagai khalq memiliki akar yang sama dengan istilah moralitas manusia (Akhlaq). Ini menunjukkan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan itu mesti menggunakan etika dan moralitas. ( Baca: kosmos dalam pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim).
Kaitan-kaitan antara diri ilmuwan, wahyu dan alam semesta dapat dengan mudah dipahami karena ketiganya memiliki ayat-ayat. Ayat artinya tanda dan tanda menunjukkan sesuatu yang lain dari dirinya. Jadi korelasi antara- ayat-ayat itu pada akhirnya, bagi orang yang berfikir, akan menunjukkan adanya Tuhan adalah Penciptanya. Selain melalui ayat-ayat kaitan itu juga dapat dipahami melalui konsep fitrah. Kaitan manusia dan alam wahyu dalam ikatan konsep fitrah, namun karena akal manusia tidak mampu memahami alam ini dengan baik, maka Allah menurunkan petunjuk yang berupa fitrah munazzalah yaitu Al-Qur’an. Artinya ketiga fitrah itu, jika dipahami dengan sebaik-baiknya akan menghasilkan ilmu yang benar. Dari kesamaan ini saja sudah dapat dijelaskan betapa integralnya ajaran Islam dalam memahami alam semesta yang merupakan basis bagi pengembangan sains dan teknologi.
Konsep integral seperti yang digambarkan diatas berdampak terhadap orientasi sains masyarakat masyarakat Muslim dan itu adalah sebagian konsep dari worldview Islam yang dapat menjadi basis bagi lahirnya tradisi intelektual Islam. Professor Alparslan membuktikan secara teoritis bahwa Al-Qur’an dan hadith sebagai sebuah sumber ilmu pengetahuan Islam memiliki konsep keilmuan yang mendorong munculnya tradisi intelektual dan lahirnya sains serta ilmu pengetahuan Islam.
Secara kronologis menurut Alparslan perjalanan dari Al-Qur’an menjadi disiplin ilmu didahului oleh tiga hal: pertama, adalah worlview (dari para ilmuwan), yang merupakan lingkungan konseptual dimana aktivitas keilmuan dikembangkan. Kedua, adalah jaringan konsep keilmuan yang telah jelas bentuknya, yang disebut sebagai “struktur konsep keilmuan” (scientific conceptual scheme. Dan ketiga, adalah jaringan kosa kata teknis dan cara pandang yang dihasilkan jaringan konsep dalam suatu ilmu tertentu, yang disebut dengan “struktur konsep keilmuan khusus” (specific scientific conceptual scheme).
Pandangan hidup para ilmuan, yang dalam hal ini ilmuan Muslim, sudah barang tentu diperoleh dari apa yang diproyeksikan oleh Al-Qur’an yang dijelaskan oleh Nabi. Bagaimana Nabi mentransformasikan pandangan hidup Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat ditelusuri terutama sejak Nabi Hijrah ke Madinah. Di sana beliau memulai membangun institusi-institusi khusus yang kemudian menjadi model pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Al-suffah adalah “universitas” pertama yang dibangun sendiri oleh Nabi di Madinah. Mahasiswanya disebut ashab al-Suffah, atau ahl al-Suffah di dalamnya mereka membaca, menulis, belajar hukum-hukum Islam, menghapal dan mempraktekkan Al-Qur’an, belajar tajwid dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Semua diajarkan langsung di bawah pengawasan Nabi. Ubaidah ibn al-Samit misalnya, seperti disebutkan dalan Sunan Abu Dawud, ditunjukk Nabi menjadi guru di madrasah al-suffah untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Aktifitas ilmiyah dalam rangka memahami Al-Qur’an yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan di dalamnya itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan (scientific community). Komunitas ilmuwan atau ulama Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu. (Baca: Lahirnya Tradisi Keilmuan Dalam Islam).
Jika lahirnya sains Islam dalam tradisi intelektual Islam telah dibuktikan secara teoritis dan historis oleh Alparslan, maka Adi Setia lebih memperjelas bagi identitas sains Islam dengan membeberkan makna teknis sains Islam. Adi menjelaskan bahwa makna sains Islam dapat diidentifikasi, pertama-tama, melalui fakta-fakta sejarah yaitu adanya tokoh-tokoh saintis muslim yang berwibawa seperti Ibn Haytham, Ibn Syna, al-Khawarizmi, al-Biruni, Omar Khayyam dan lain sebagainya. Saintis Muslim adalah mereka yang memiliki aktifitas saintifik berdasarkan pandangan hidup Islam.
Makna kedua dari sains Islam, menurut Adi, adalah pandangan-pandangan saintis atau cendikiawan Muslim yang secara teoritis, konseptual berangkat dari pandangan hidup Islam. Pandangan-pandangan yang telah berbentuk karya-karya ini memiliki identitas tersendiri sehingga secara tidak langsung berbeda atau kritis terhadap sains atau ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan Islam. Makna ketiga, adalah upaya-upaya ilmuan Muslim untuk merumuskan kembali konsep-konsep sains Islam berdasarkan pandangan hidup Islam dengan tujuan menghasilkan definisi, metodologi, paradigm keilmuan Islam yang dapat menghasikan teknologi yang tepat guna dan tepat nilai serta bermanfaat bagi kesejahteraan umat lahir dan bathin.
Dengan paparan diatas identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan lagi, baik secara teoritis, historis ataupun prospektifnya. Kajian historis bagaimana sains dalam Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban Islam dan kehidupan umat Islam terbukti di Andalusia. Professor Wan Mohd Nor Wan Daud memaparkan bagaimana Andalusia merupakan kawasan paling beradab di dunia pada waktu itu, dimana sains, politik dan kehidupan social lainnya saling menopang dan saling bekerjasama dalam sebuah harmoni kehidupan ( Baca: Iklim Kehidupan Intelektual di Andalusi ).
Professor al-Hassan membahas bagaimana sains Islam Lahir dan mencapai puncaknya antara abad ke 13 dan ke 16. Pernyataan ini mungkin mengejutkan peneliti sejarah sains Islam, karena kebanyakan orientalis dan cendikiawan Muslim yang terpengaruh dengan mereka, umumnya berpendapat bahwa gara-gara serangan al-Ghazali pada abad ke 10 terhadap filsafat maka filsafat dan sains di dunia Islam mundur. Padahal justru pada abad ke 13 sains Islam merangkak menuju puncak kejayaannya. Observatorium Maragha didirikan justru setelah Bahgdad jatuh yaitu tahun 1259. Aktifitas astronomi terus berkembang dan bahkan ditandai oleh astronomer Muslim terkenal ‘Ali Ibn Ibrahim Ibn Shatir (1304-1375), yang karyanya memberikan inspirasi Copernicus untuk menemukan teori Heliosentris. Di Istanbul Observatorium terpentingnya dibawah kepemimpinan Muhammd Ibn Ma’ruf al-Rashid al-Dymashqi masih berdiri tegak hingga tahun 1577 dibawah kekuasaan Sultan Murad III. Disini al-Hassan menegaskan bahwa lahirnya sains Islam disebabkan oleh prinsip-prinsip Islam yang sumbernya adalah al-Qur’an dan hadith ( Baca: factor-faktor di balik kemunduran Ilmu Pengetahuan Islam setelah Abad ke 16 )
Kini persoalannya bukan apakah sains Islam itu ada atau pernah ada, tapi apa yang menyebabkan sains Islam di masa lalu itu mundur hingga kini. Al- Hassan menyimpulkan menjadi 4 faktor penyebabnya: pertama, karena factor ekologi dan alami; kedua, karena invasi-invasi eksternal; ketiga, adalah hancurnya perdagangan internasional dan berkembangnya kekuatan Barat, dan keempat, adalah factor intervensi dan kolonialisasi militer. Karena keempat hal inilah Muslim tidak lagi leading dalam bidang sains seperti pada abad ke 13 hingga abad ke 16. Meski demikian al-Hassan masih melihat kemungkinan-kemungkinan bangkitnya sains Islam di masa depan, mengingat sumber daya manusia dan juga sumber daya alam Negara-negara Muslim sangat potensial untuk itu.
Paparan Dr.Zaidi, Dr. Adi Setia, Prof. Alparslan, Prof. Wan Mohd Nor dan Prof. al-Hassan telah cukup memberikan gambaran bahwa identitas sains Islam itu adalah riel. Namun kebingungan intelektual, kesalahpahaman dan kerancuan konseptual para cendikiawan Muslim, kini wujud sains Islam di sangsikan. Dipermukaan mungkin Nampak benar karena hegemoni epistemology atau filsafat sains Barat telah menghilangkan identitas sains Islam. Untuk itu Seyyed Hossein Nasr memberikan rambu-rambu penting bagi perjalanan menuju terciptanya sains Islam yang murni untuk menghilangkan kesangsian tersebut. Rambu-rambu tersebut pertama, menghilangkan sikap “memuja” sains dan teknologi Barat. Kedua, perlu adanya pendalaman terhadap sumber-sumber Islam tradisional dari al-Qur’an, Hadith, ilmu-ilmu tradisional seperti filsafat, teologi, kosmologi dan lain-lain untuk dapat memformulasikan pandangan alam Islam, khususnya yang berkaitan dengan konsep Islam tentang alam semesta dan ilmu alam. Yakni semua, seperti yang dipaparkan Alparslan, harus dilakukan dalam frame work tradisi intelektual Islam. Ketiga, Muslim perlu mempelajari sains modern setinggi-tingginya, khususnya sains murni dengan begitu mereka akan dapat melakukan transformasi teori secara mendalam. Keempat, menghidupkan kembali sains Islam tradisional sebisa mungkin, khususnya dalam bidang kedokteran, farmasi, pertanian dan arsitektur. Bidang-bidang ini tidak hanya akan menciptakan rasa percaya diri terhadap kultur mereka sendiri, tapi juga akan memberikan konsekuensi social dan ekonomi yang mendalam. Sangat aneh jika terapi akupuntur, Ayurveda, Yoga, Homopathy, dan sebagainya sangat marak, sementara kedokteran Islam masih absen dari aktifitas pengobatan alternative. Kelima, untuk menciptakan sains Islam yang asli adalah dengan mengawinkan sains dan etika, bukan dalam diri saintis tapi dalam struktur teoritis dan fondasi filsafat sainsnya. Yang terakhir inilah yang absen dari sains Barat Modern. Dari uraian yang akan dipaparkan pada edisi ini akan dapat diketahui bagaimana sejatinya sejarah, makna dan sains Islam.
Kalau Emmanuel Kant menyatakan: “ I felt the need leave behind the books I read in order to believe in God” (Saya merasa perlu meninggalkan semua buku yang say abaca agar saya percaya kepada Tuhan), maka bagi Muslim tentu harus berkata:”saya perlu meninggalkan semua buku yang say abaca kalau buku itu tidak menambah keimanan saya kepada Tuhan.” Kalau Kant memilih logika either no, memilih ilmu atau Tuhan, Islam justru menyatukan ilmu dan Tuhan. Wallahu a’lam bissawab.
http://eddysyahrizal.blogspot.com/2008/10/makna-sains-islam.html



Islamisasi

Sekitar tahun 1992 Prof. Dr. Mukti Ali di sela-sela sebuah seminar di Gontor tiba-tiba bergumam, “Bagi saya Islamisasi ilmu pengetahuan itu omong kosong, apanya yang diislamkan, ilmu kan netral”. Prof. Dr. Baiquni yang waktu itu bersama beliau langsung menimpali “Pak Mukti tidak belajar sains, jadi tidak tahu dimana tidak Islamnya ilmu (sains) itu”. Pak Mukti dengan antusias, menyahut “Masa iya, bagaimana itu?” “Sains di Barat itu pada tahap asumsi dan presupposisinya tidak melibatkan Tuhan”, jawab Baiquni. “Jadi ia menjadi sekuler dan anti Tuhan”, Pak Mukti dengan kepolosan dan sikap akademiknya spontan menjawab lagi “Oh begitu”. Diskusi terus berlangsung dan soal ilmu serta Islamisasinya menjadi topik menarik.

Benarkah ilmu pengetahuan masa kini itu tidak mengakui adanya Tuhan? Pernyataan Baiquni sejalan dengan apa kata R. Hooykaas dalam Religion and T he Rise of Mo dern Science. Di Barat dunia dulunya digambarkan sebagai organisme, tapi sejak da tangnya Copernicus hingga Newton bergeser menjadi mekanisme. Pergeseran cara pandang ini pada abad ke 17 telah diprotes pengikut Aristotle. Menurut mereka pandangan terhadap dunia yang mekanistis itu telah menggiring manusia kepada atheisme (kekafiran).

Tapi pendukung mekanisme seperti Beeckman, Basso, Gasendi dan Boyle tidak terima. Dengan dalih konsep mukjizat, Boyle misalnya, beralasan, gambaran mekanistis bisa juga religius. Karena jika materi dan gerak yang menjadi esensi organisme tidak cukup untuk menerangkan fenomena alam, maka ini berarti memungkinkan adanya intervensi Tuhan melalui mukjizat. Artinya masih ada peran Tuhan disitu. Tuhan bisa sewaktu-waktu turun tangan mempengaruhi kausalitas alam semesta. Inilah occassionalisme yang menjadi doktrin Kristen hingga kini. Artinya Tuhan itu sangat transenden, berada jauh disana dan tidak terjangkau. Sementara alam berada disini dan tidak selalu dibawah pengawasan Tuhan.

Menggambarkan dunia sebagai mekanisme berarti melihatnya sebagai mesin. Bagi yang atheis mesin itu ada dengan sendirinya. Bagi yang theis mesin itu diciptakan. Tapi di Barat kekuasaan Pencipta itu direduksi dan akhirnya dihilangkan. Dunia dulu diciptakan namun kini bebas dari Penciptanya. Masih belum lama ketika Henri de Monantheuil seorang penulis Perancis, pada tahun 1599, menyatakan bahwa Tuhan adalah pencipta mesin dan ciptaan-Nya, yaitu dunia ini, berjalan bagaikan sebuah mesin. Tentu, ini membuat jamaah gereja berang. Tuhan gereja dianggap tidak ikut campur urusan dunia.

Faham mekanisme tentang dunia inilah yang menguasai alam pikiran Barat modern. Paradigma positivisme dan empirisisme dalam sains Barat menjadi subur. Otoritas memahami dunia kini berpindah dari gereja ke tangan saintis. Descartes, Gassendi, Pascal, Berkley, Boyle, Huygens dan Newton yang konon membela Tuhan, akhirnya merebut otoritas Tuhan. Jargon “Man is the standard of everything” dinyanyikan ulang. Benar-salah, baik-buruk tidak perlu campur tangan Tuhan. Wahyu dikalahkan akal atau diganti dengan akal.

Jika dulu gereja bisa marah pada Copernicus dan Galelio dan menghukum Bruno, kini hanya dapat menangisi ulah para saintis. Sementara para saintis seperti tidakmau repot dan mengambil posisi, “yang tidak bisa dibuktikan secara empiris bukan sains”. Teologi tidak bisa masuk dalam sains. Bicara fisika tidak perlu melibatkan metafisika. Argumentasi Francis Bacon sangat empiristis “Ilmu berkembang karena kesamaan-kesamaan, sedangkan Tuhan tidak ada kesamaannya”. Maka dari itu dalam teori idola-nya Bacon mewanti-wanti agar tidak melakukan induksi berdasarkan keyakinan.

Selain itu Bacon juga mengakui, kita ini bodoh tentang kehendak dan kekuasaan Tuhan yang tersurat dalam wahyu dan tersirat dalam ciptaan-Nya. Descartes berpikiran sama kehendak Tuhan tak dapat dipahami sehingga menghalangi jalan rasionalisme. Terus? “Kita tidak perlu takut melawan wahyu Tuhan dan melarang meneliti alam ini,” katanya. Sebab tidak ada larangan dalam wahyu. Tuhan memberi manusia hak menguasai alam. Oleh sebab itu kita bisa seperti Tuhan dan mengikuti petunjuk akal kita. Jadi, sebenarnya para saintis bukan tidak percaya Tuhan, tapi mereka kesulitan mengkaitkan teologi dengan epistemologi. Tragedinya, standar kebenaran dan metode penelitian pun akhirnya dimonopoli oleh empirisisme rasional.

Sebenarnya argumentasi Descartes dan Bacon masih belum berganjak dari pertanyaan Ibn Rusyd kepada al-Ghazzali. Na mun karena Ibn Rusyd terlanjut lebih populer dikalangan gereja dengan Averois me nya, pikiran al-Ghazzali tidak dianggap. E. Gillson dalam karyanya Revelation and Reason jelas se kali menyalahkan Ibn Rusyd. Sebab dengan teori kebenaran gandanya ia dianggap telah menabur benih sekularisme pada Descartes, Malebanche, David Hume dan pemikir Barat lainnya. Tuhan tetap disembah dan diyakini wujud-Nya, tapi tidak ditemukan hubung annya dengan pikiran, ilmu atau sains. Al-Attas segera sadar ilmu pengetahuan modern ternyata sarat nilai Barat.

Andalannya akal semata dengan cara pandang yang dualistis. Realitas hanya dibatasi pada Being yang temporal dan human being menjadi sentral. Ismail al-Faruqi dan Hossein Nasr mengamini. Al-Faruqi menyoal dualisme ilmu dan sistim pendidikan Muslim. Nasr mengkritisi mengapa jejak Tuhan dihapuskan dari hukum alam dan dari realitas alam. Ketiganya seakan menyesali seandainya yang menguasai dunia bukan Barat eksploitasi alam yang merusak itu tak pernah terjadi.

Ilmu yang seperti itu harus diislamkan, kata al-Attas. Namun mengislamkan ilmu itu tanpa syahadat dan jabat tangan sang qadi. Diislamkan artinya dibebaskan, diserah dirikan kepada Tuhan. Dibebaskan dari faham sekular yang ada dalam pikiran Muslim. Khususnya dalam penafsiran-penafsiran fakta-fakta dan formulasi teori-teori. Pada saat yang sama dimasuki konsep din, manusia ( insan), ilmu ( ilm dan ma’rifah), keadilan (‘ adl), konsep amal yang benar (amal sebagai adab) dsb.

Lalu apakah setelah itu akan lahir mobil Islam, mesin Islam, pesawat terbang Islam dsb? This is silly question, kata al-Attas suatu ketika. Yang diislamkan adalah ilmu dalam diri al-alim, dan bukan al-ma’lum (obyek ilmu), bukan pula teknologi. Yang diislamkan adalah paradigma saintifiknya dan sekaligus worldview-nya. Jika paradigma dan worldviewnya telah berserah diri pada Tuhan, maka sains dapat memproduk teknologi yang ramah lingkungan. Teknologi bisa serasi dengan maqasid syariah dan bukan dengan nafsu manusia. Dengan worldview Islam akan lahir ilmu yang sesuai dengan fitrah manusia, fitrah alam semesta dan fitrah yang diturunkan ( fitrah munazzalah) yakni al-Qur’an, meminjam istilah Ibn Taymiyyah. Dengan paradigma keilmuan Islam akan muncul ilmu yang memadukan ayat-ayat Qur’aniyah, kauniyyah, dan nafsiyyah. Hasilnya adalah ilmun-nafi’ yang menjadi nutrisi iman dan pemicu amal. Itulah misykat yang menyinari kegelapan akal dan kerancuan pemikiran.
http://www.republika.co.id/koran/155/36851/Islamisasi

SAINS

Makna Sains Islam

Memahami makna sains Islam tidak cukup dengan sebuah atau dua buah definisi. Ini tidak berarti bahwa sains Islam tidak definitive dan tidak jelas identitasnya. Sebab sebuah konsep ia memerlukan penjelasan-penjelasan dan pendekatan yang komprehensif. Ini dilatarbelakangi oleh suatu kondisi dimana sains Barat Modern dengan globalisasi, westernisasi dan berbagai macam pahamnya tersebar ke seluruh dunia, termasuk dunia Islam, sehingga Muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas sains Islam dan sains Barat. Inilah yang disebut oleh Professor al-Attas sebagai loss of adab yang juga berarti loss of identity. Bahkan antara umat Islam tidak saja kesulitan mengidentifikasi diri, tapi sinis, takut dan malu dengan identitas Islam dan bahkan dia mencemooh identitas itu. Tidak sedikit cendikiawan Muslim yang masih canggung dengan identitas atau sifat “Islam” pada ilmu sosiologi, ilmu fisika, ilmu psikologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dsb. Padahal ketika seseorang menyebut “sains modern” (modern sciences) atau sains Barat (Western Sciences), tanpa disadari, ia telah meletakkan suatu identitas sains tersebut, yaitu sains yang diproduksi oleh idiologi, kepercayaaan dan pandangan-pandangan yang berasal dari peradaban Barat. Demikian pula dengan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, politik, sosiologi dan lain sebagainya.
Dampak dan hilangnya identitas dapat diamati dari berbagai pernyataan pernyataan cendikiawan Muslim mengenai hal ini. Jamaluddin al-Afghani misalnya menyatakan:
“Barangsiapa yang melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya. Agama Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan ilmu pengetahuan, dan tidak ada ketidaksesuaian antara sains dan ilmu pentetahuan dengan dasar-dasar agama.”
Sikap al-Afgani sejalan dengan sikap Sir Syed Ahmad Khan. Bagi Khan Karya Tuhan tidak akan bertentangan dengan kata atau firman-Nya. Jadi tidak mungkin sains bertentangan dengan agama. Dengan nada yang agak berbeda Fazlur Rahman juga setuju. Baginya ilmu netral tergantung kepada siapa yang menggunakannya. Baik al-Afghani, Ahmad Khan maupun Rahman tidak menjelaskan dan mungkin tidak menyadari bahwa Sains yang dipelajari umat Islam yang di abad 19 dan 20 adalah sains Barat. Sains yang lahir dari kepercayaan, kultur dan pandangan hidup manusia barat yang sekuler.
Sikap-sikap diatas bagi Sayyed Hossein Nasr sama dengan menganggap sains Barat sama dengan sains Islam (‘ilm) dengan alasan karena sains Barat adalah hasil terjemahan dari karya-karya Muslim dalam bidang sains. Namun, para pemuja sains barat itu, kata Nasr, tidak meyadari bahwa setelah diterjemahkan sains Islam itu juga dimoifikasi dan disekulerkan, sehingga sains Modern merupakan produk filsafat sains di era Revolusi Sains dan telah mengalami perubahan paradigm sains abad pertengahan dan periode Renaissance awal.
Selain itu, kebanyakan Muslim berpendirian bahwa sains itu bebas nilai (value free) jadi tidak ada bedanya antara sains Islam dan sains Barat. Pendirian ini, selain tidak menyadari adanya shift of paradigm, jelas-jelas menafikan kenyataan bahwa sains Barat, seperti juga sains lain, itu berdasarkan pada system nilai dan pandangan hidup (world view) tertentu yang akarnya dapat ditelusuri dari asumsi-asumsi para saintis terhadap hakekat realitas fisik, subyek yang memahami realitas itu dan hubungan keduanya. Untuk memperjelas perbedaan antara sains Barat dan dan Sains Islam Ziauddin Sardar menyatakan bahwa:
“Jika sains itu sendiri netral, maka sikap kita dalam mendekati sains itulah yang menjadikan sains itu sekuler atau Islami. Pendekatan Islam mengakui keterbatasan otak dan akal manusia, serta mengakui bahwa semua ilmu pengetahuan itu berasal dari Tuhan.”
Sementara Identitas Sains Barat, sebagaimana disinyalir Maryam Jameelah :
“Sains modern tidak dibimbing oleh atau kehilangan nilai moralnya, bahkan dikuasai oleh materialism dan arogansi. Seluruh cabang ilmu dan aplikasinya telah terkontaminasi oleh borok yang sama.”
Jadi sains Barat tidak netral dan tentu sudah berbeda dengan sains Islam.
Karena sains Barat tidak member tempat pada wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan, maka sains Barat dianggap netral. Di sini netral adalah bebas dari agama. Realitas Tuah tidak menjadi pertimbangan dalam sains Barat, karena Tuhan dianggap tidak riel. Namun sains tidak bebas dari idiologi, kultur, cara pandang dan kebudayaan manusia Barat. Dan ternyata dalam sains sendiri terdapat asumsi-asumsi, doktrin-dktrin yang tidak beda dengan agama. Pada akhirnya doktrin-doktrin sains yang dipercayai sebagai pasti, dipertentangkan dengan doktrin-doktrin agama yang dianggap tidak rasional dan tidak empiris. Yang terpojok dan dipojokkan adalah agama. Agama bahkan dipertanyakan dan dituntut untuk direformasi agar mengikuti asumsi-asumsi sains. Agama jadi termaginalkan dan kini ditinggalkan.
Secara lebih luas lagi, perbedaan sains Barat dan sains Islam dapat ditelusuri dari perbedaan pandangan hidup (worldview) keduanya. Perbedaan pandangan hidup berarti perbedaan konsep-konsep fundamental di dalamnya. Konsep Tuhan, ilmu, manusia, alam, etika, dan agama berbeda antara peradaban satu dengan yang lain. Dalam situasi seperti ini pertemuan keduanya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktanya memang sains Barat Modern itu ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup (worldview) Islam. Dalam Islam pengatahuan tentang realitas itu tidak hanya berdasarkan pada akal saja, tetapi juga wahyu, intuisi dan pengalaman. Tapi sains Barat akal diletakkan lebih tinggi dari wahyu dan bahkan meninggalkan wahyu. Akhirnya, sains tidak berhubungan harmonis dengan agama, bahkan meninggalkan agama.
Sejatinya, dengan memahami sains Barat dan sains Islam dengan konsep worldview, kita dapat dengan mudah mengenal identitas Sains Islam. Sebab dalam Islam cara pandang terhadap alam semesta, terhadap makna realitas, makna ilmu, tata nilai dan moralitas berbeda dengan cara pandang Barat. Menurut pandangan hidup Islam alam semesta ini merupakan Kitab Ciptaan (Created Book) Tuhan. Karena itu alam harus dipahami, dilihat, diamati dan diteliti dengan pandanga hidup Islam. Zaidi Ismail membahas bagaimana Islam memandang alam semesta yang merupakan obyk utama sains. Cara pandang Islam yang direfleksikan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview) itu dapat dilacak dari peristilahan yang digunakan di dalam Al-Qur’an dan Hadith. Istilah-istilah ilmu (‘ilm), Ilmuwan (al-‘alim), alam (al-‘alam) merupakan derivasi dari akar kata yang sama. Ini menunjukkan konsep integral antara subyek ilmu, obyek ilmu dan ilmu itu sendiri. Franz Rosenthal bahkan berani menyimpulkan bahwa ilmu adalah Islam. Alam sebagai sebagai ciptaan diistilahkan sebagai khalq memiliki akar yang sama dengan istilah moralitas manusia (Akhlaq). Ini menunjukkan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan itu mesti menggunakan etika dan moralitas. ( Baca: kosmos dalam pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim).
Kaitan-kaitan antara diri ilmuwan, wahyu dan alam semesta dapat dengan mudah dipahami karena ketiganya memiliki ayat-ayat. Ayat artinya tanda dan tanda menunjukkan sesuatu yang lain dari dirinya. Jadi korelasi antara- ayat-ayat itu pada akhirnya, bagi orang yang berfikir, akan menunjukkan adanya Tuhan adalah Penciptanya. Selain melalui ayat-ayat kaitan itu juga dapat dipahami melalui konsep fitrah. Kaitan manusia dan alam wahyu dalam ikatan konsep fitrah, namun karena akal manusia tidak mampu memahami alam ini dengan baik, maka Allah menurunkan petunjuk yang berupa fitrah munazzalah yaitu Al-Qur’an. Artinya ketiga fitrah itu, jika dipahami dengan sebaik-baiknya akan menghasilkan ilmu yang benar. Dari kesamaan ini saja sudah dapat dijelaskan betapa integralnya ajaran Islam dalam memahami alam semesta yang merupakan basis bagi pengembangan sains dan teknologi.
Konsep integral seperti yang digambarkan diatas berdampak terhadap orientasi sains masyarakat masyarakat Muslim dan itu adalah sebagian konsep dari worldview Islam yang dapat menjadi basis bagi lahirnya tradisi intelektual Islam. Professor Alparslan membuktikan secara teoritis bahwa Al-Qur’an dan hadith sebagai sebuah sumber ilmu pengetahuan Islam memiliki konsep keilmuan yang mendorong munculnya tradisi intelektual dan lahirnya sains serta ilmu pengetahuan Islam.
Secara kronologis menurut Alparslan perjalanan dari Al-Qur’an menjadi disiplin ilmu didahului oleh tiga hal: pertama, adalah worlview (dari para ilmuwan), yang merupakan lingkungan konseptual dimana aktivitas keilmuan dikembangkan. Kedua, adalah jaringan konsep keilmuan yang telah jelas bentuknya, yang disebut sebagai “struktur konsep keilmuan” (scientific conceptual scheme. Dan ketiga, adalah jaringan kosa kata teknis dan cara pandang yang dihasilkan jaringan konsep dalam suatu ilmu tertentu, yang disebut dengan “struktur konsep keilmuan khusus” (specific scientific conceptual scheme).
Pandangan hidup para ilmuan, yang dalam hal ini ilmuan Muslim, sudah barang tentu diperoleh dari apa yang diproyeksikan oleh Al-Qur’an yang dijelaskan oleh Nabi. Bagaimana Nabi mentransformasikan pandangan hidup Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat ditelusuri terutama sejak Nabi Hijrah ke Madinah. Di sana beliau memulai membangun institusi-institusi khusus yang kemudian menjadi model pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Al-suffah adalah “universitas” pertama yang dibangun sendiri oleh Nabi di Madinah. Mahasiswanya disebut ashab al-Suffah, atau ahl al-Suffah di dalamnya mereka membaca, menulis, belajar hukum-hukum Islam, menghapal dan mempraktekkan Al-Qur’an, belajar tajwid dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Semua diajarkan langsung di bawah pengawasan Nabi. Ubaidah ibn al-Samit misalnya, seperti disebutkan dalan Sunan Abu Dawud, ditunjukk Nabi menjadi guru di madrasah al-suffah untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Aktifitas ilmiyah dalam rangka memahami Al-Qur’an yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan di dalamnya itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan (scientific community). Komunitas ilmuwan atau ulama Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu. (Baca: Lahirnya Tradisi Keilmuan Dalam Islam).
Jika lahirnya sains Islam dalam tradisi intelektual Islam telah dibuktikan secara teoritis dan historis oleh Alparslan, maka Adi Setia lebih memperjelas bagi identitas sains Islam dengan membeberkan makna teknis sains Islam. Adi menjelaskan bahwa makna sains Islam dapat diidentifikasi, pertama-tama, melalui fakta-fakta sejarah yaitu adanya tokoh-tokoh saintis muslim yang berwibawa seperti Ibn Haytham, Ibn Syna, al-Khawarizmi, al-Biruni, Omar Khayyam dan lain sebagainya. Saintis Muslim adalah mereka yang memiliki aktifitas saintifik berdasarkan pandangan hidup Islam.
Makna kedua dari sains Islam, menurut Adi, adalah pandangan-pandangan saintis atau cendikiawan Muslim yang secara teoritis, konseptual berangkat dari pandangan hidup Islam. Pandangan-pandangan yang telah berbentuk karya-karya ini memiliki identitas tersendiri sehingga secara tidak langsung berbeda atau kritis terhadap sains atau ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan Islam. Makna ketiga, adalah upaya-upaya ilmuan Muslim untuk merumuskan kembali konsep-konsep sains Islam berdasarkan pandangan hidup Islam dengan tujuan menghasilkan definisi, metodologi, paradigm keilmuan Islam yang dapat menghasikan teknologi yang tepat guna dan tepat nilai serta bermanfaat bagi kesejahteraan umat lahir dan bathin.
Dengan paparan diatas identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan lagi, baik secara teoritis, historis ataupun prospektifnya. Kajian historis bagaimana sains dalam Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban Islam dan kehidupan umat Islam terbukti di Andalusia. Professor Wan Mohd Nor Wan Daud memaparkan bagaimana Andalusia merupakan kawasan paling beradab di dunia pada waktu itu, dimana sains, politik dan kehidupan social lainnya saling menopang dan saling bekerjasama dalam sebuah harmoni kehidupan ( Baca: Iklim Kehidupan Intelektual di Andalusi ).
Professor al-Hassan membahas bagaimana sains Islam Lahir dan mencapai puncaknya antara abad ke 13 dan ke 16. Pernyataan ini mungkin mengejutkan peneliti sejarah sains Islam, karena kebanyakan orientalis dan cendikiawan Muslim yang terpengaruh dengan mereka, umumnya berpendapat bahwa gara-gara serangan al-Ghazali pada abad ke 10 terhadap filsafat maka filsafat dan sains di dunia Islam mundur. Padahal justru pada abad ke 13 sains Islam merangkak menuju puncak kejayaannya. Observatorium Maragha didirikan justru setelah Bahgdad jatuh yaitu tahun 1259. Aktifitas astronomi terus berkembang dan bahkan ditandai oleh astronomer Muslim terkenal ‘Ali Ibn Ibrahim Ibn Shatir (1304-1375), yang karyanya memberikan inspirasi Copernicus untuk menemukan teori Heliosentris. Di Istanbul Observatorium terpentingnya dibawah kepemimpinan Muhammd Ibn Ma’ruf al-Rashid al-Dymashqi masih berdiri tegak hingga tahun 1577 dibawah kekuasaan Sultan Murad III. Disini al-Hassan menegaskan bahwa lahirnya sains Islam disebabkan oleh prinsip-prinsip Islam yang sumbernya adalah al-Qur’an dan hadith ( Baca: factor-faktor di balik kemunduran Ilmu Pengetahuan Islam setelah Abad ke 16 )
Kini persoalannya bukan apakah sains Islam itu ada atau pernah ada, tapi apa yang menyebabkan sains Islam di masa lalu itu mundur hingga kini. Al- Hassan menyimpulkan menjadi 4 faktor penyebabnya: pertama, karena factor ekologi dan alami; kedua, karena invasi-invasi eksternal; ketiga, adalah hancurnya perdagangan internasional dan berkembangnya kekuatan Barat, dan keempat, adalah factor intervensi dan kolonialisasi militer. Karena keempat hal inilah Muslim tidak lagi leading dalam bidang sains seperti pada abad ke 13 hingga abad ke 16. Meski demikian al-Hassan masih melihat kemungkinan-kemungkinan bangkitnya sains Islam di masa depan, mengingat sumber daya manusia dan juga sumber daya alam Negara-negara Muslim sangat potensial untuk itu.
Paparan Dr.Zaidi, Dr. Adi Setia, Prof. Alparslan, Prof. Wan Mohd Nor dan Prof. al-Hassan telah cukup memberikan gambaran bahwa identitas sains Islam itu adalah riel. Namun kebingungan intelektual, kesalahpahaman dan kerancuan konseptual para cendikiawan Muslim, kini wujud sains Islam di sangsikan. Dipermukaan mungkin Nampak benar karena hegemoni epistemology atau filsafat sains Barat telah menghilangkan identitas sains Islam. Untuk itu Seyyed Hossein Nasr memberikan rambu-rambu penting bagi perjalanan menuju terciptanya sains Islam yang murni untuk menghilangkan kesangsian tersebut. Rambu-rambu tersebut pertama, menghilangkan sikap “memuja” sains dan teknologi Barat. Kedua, perlu adanya pendalaman terhadap sumber-sumber Islam tradisional dari al-Qur’an, Hadith, ilmu-ilmu tradisional seperti filsafat, teologi, kosmologi dan lain-lain untuk dapat memformulasikan pandangan alam Islam, khususnya yang berkaitan dengan konsep Islam tentang alam semesta dan ilmu alam. Yakni semua, seperti yang dipaparkan Alparslan, harus dilakukan dalam frame work tradisi intelektual Islam. Ketiga, Muslim perlu mempelajari sains modern setinggi-tingginya, khususnya sains murni dengan begitu mereka akan dapat melakukan transformasi teori secara mendalam. Keempat, menghidupkan kembali sains Islam tradisional sebisa mungkin, khususnya dalam bidang kedokteran, farmasi, pertanian dan arsitektur. Bidang-bidang ini tidak hanya akan menciptakan rasa percaya diri terhadap kultur mereka sendiri, tapi juga akan memberikan konsekuensi social dan ekonomi yang mendalam. Sangat aneh jika terapi akupuntur, Ayurveda, Yoga, Homopathy, dan sebagainya sangat marak, sementara kedokteran Islam masih absen dari aktifitas pengobatan alternative. Kelima, untuk menciptakan sains Islam yang asli adalah dengan mengawinkan sains dan etika, bukan dalam diri saintis tapi dalam struktur teoritis dan fondasi filsafat sainsnya. Yang terakhir inilah yang absen dari sains Barat Modern. Dari uraian yang akan dipaparkan pada edisi ini akan dapat diketahui bagaimana sejatinya sejarah, makna dan sains Islam.
Kalau Emmanuel Kant menyatakan: “ I felt the need leave behind the books I read in order to believe in God” (Saya merasa perlu meninggalkan semua buku yang say abaca agar saya percaya kepada Tuhan), maka bagi Muslim tentu harus berkata:”saya perlu meninggalkan semua buku yang say abaca kalau buku itu tidak menambah keimanan saya kepada Tuhan.” Kalau Kant memilih logika either no, memilih ilmu atau Tuhan, Islam justru menyatukan ilmu dan Tuhan. Wallahu a’lam bissawab.
http://eddysyahrizal.blogspot.com/2008/10/makna-sains-islam.html



Islamisasi

Sekitar tahun 1992 Prof. Dr. Mukti Ali di sela-sela sebuah seminar di Gontor tiba-tiba bergumam, “Bagi saya Islamisasi ilmu pengetahuan itu omong kosong, apanya yang diislamkan, ilmu kan netral”. Prof. Dr. Baiquni yang waktu itu bersama beliau langsung menimpali “Pak Mukti tidak belajar sains, jadi tidak tahu dimana tidak Islamnya ilmu (sains) itu”. Pak Mukti dengan antusias, menyahut “Masa iya, bagaimana itu?” “Sains di Barat itu pada tahap asumsi dan presupposisinya tidak melibatkan Tuhan”, jawab Baiquni. “Jadi ia menjadi sekuler dan anti Tuhan”, Pak Mukti dengan kepolosan dan sikap akademiknya spontan menjawab lagi “Oh begitu”. Diskusi terus berlangsung dan soal ilmu serta Islamisasinya menjadi topik menarik.

Benarkah ilmu pengetahuan masa kini itu tidak mengakui adanya Tuhan? Pernyataan Baiquni sejalan dengan apa kata R. Hooykaas dalam Religion and T he Rise of Mo dern Science. Di Barat dunia dulunya digambarkan sebagai organisme, tapi sejak da tangnya Copernicus hingga Newton bergeser menjadi mekanisme. Pergeseran cara pandang ini pada abad ke 17 telah diprotes pengikut Aristotle. Menurut mereka pandangan terhadap dunia yang mekanistis itu telah menggiring manusia kepada atheisme (kekafiran).

Tapi pendukung mekanisme seperti Beeckman, Basso, Gasendi dan Boyle tidak terima. Dengan dalih konsep mukjizat, Boyle misalnya, beralasan, gambaran mekanistis bisa juga religius. Karena jika materi dan gerak yang menjadi esensi organisme tidak cukup untuk menerangkan fenomena alam, maka ini berarti memungkinkan adanya intervensi Tuhan melalui mukjizat. Artinya masih ada peran Tuhan disitu. Tuhan bisa sewaktu-waktu turun tangan mempengaruhi kausalitas alam semesta. Inilah occassionalisme yang menjadi doktrin Kristen hingga kini. Artinya Tuhan itu sangat transenden, berada jauh disana dan tidak terjangkau. Sementara alam berada disini dan tidak selalu dibawah pengawasan Tuhan.

Menggambarkan dunia sebagai mekanisme berarti melihatnya sebagai mesin. Bagi yang atheis mesin itu ada dengan sendirinya. Bagi yang theis mesin itu diciptakan. Tapi di Barat kekuasaan Pencipta itu direduksi dan akhirnya dihilangkan. Dunia dulu diciptakan namun kini bebas dari Penciptanya. Masih belum lama ketika Henri de Monantheuil seorang penulis Perancis, pada tahun 1599, menyatakan bahwa Tuhan adalah pencipta mesin dan ciptaan-Nya, yaitu dunia ini, berjalan bagaikan sebuah mesin. Tentu, ini membuat jamaah gereja berang. Tuhan gereja dianggap tidak ikut campur urusan dunia.

Faham mekanisme tentang dunia inilah yang menguasai alam pikiran Barat modern. Paradigma positivisme dan empirisisme dalam sains Barat menjadi subur. Otoritas memahami dunia kini berpindah dari gereja ke tangan saintis. Descartes, Gassendi, Pascal, Berkley, Boyle, Huygens dan Newton yang konon membela Tuhan, akhirnya merebut otoritas Tuhan. Jargon “Man is the standard of everything” dinyanyikan ulang. Benar-salah, baik-buruk tidak perlu campur tangan Tuhan. Wahyu dikalahkan akal atau diganti dengan akal.

Jika dulu gereja bisa marah pada Copernicus dan Galelio dan menghukum Bruno, kini hanya dapat menangisi ulah para saintis. Sementara para saintis seperti tidakmau repot dan mengambil posisi, “yang tidak bisa dibuktikan secara empiris bukan sains”. Teologi tidak bisa masuk dalam sains. Bicara fisika tidak perlu melibatkan metafisika. Argumentasi Francis Bacon sangat empiristis “Ilmu berkembang karena kesamaan-kesamaan, sedangkan Tuhan tidak ada kesamaannya”. Maka dari itu dalam teori idola-nya Bacon mewanti-wanti agar tidak melakukan induksi berdasarkan keyakinan.

Selain itu Bacon juga mengakui, kita ini bodoh tentang kehendak dan kekuasaan Tuhan yang tersurat dalam wahyu dan tersirat dalam ciptaan-Nya. Descartes berpikiran sama kehendak Tuhan tak dapat dipahami sehingga menghalangi jalan rasionalisme. Terus? “Kita tidak perlu takut melawan wahyu Tuhan dan melarang meneliti alam ini,” katanya. Sebab tidak ada larangan dalam wahyu. Tuhan memberi manusia hak menguasai alam. Oleh sebab itu kita bisa seperti Tuhan dan mengikuti petunjuk akal kita. Jadi, sebenarnya para saintis bukan tidak percaya Tuhan, tapi mereka kesulitan mengkaitkan teologi dengan epistemologi. Tragedinya, standar kebenaran dan metode penelitian pun akhirnya dimonopoli oleh empirisisme rasional.

Sebenarnya argumentasi Descartes dan Bacon masih belum berganjak dari pertanyaan Ibn Rusyd kepada al-Ghazzali. Na mun karena Ibn Rusyd terlanjut lebih populer dikalangan gereja dengan Averois me nya, pikiran al-Ghazzali tidak dianggap. E. Gillson dalam karyanya Revelation and Reason jelas se kali menyalahkan Ibn Rusyd. Sebab dengan teori kebenaran gandanya ia dianggap telah menabur benih sekularisme pada Descartes, Malebanche, David Hume dan pemikir Barat lainnya. Tuhan tetap disembah dan diyakini wujud-Nya, tapi tidak ditemukan hubung annya dengan pikiran, ilmu atau sains. Al-Attas segera sadar ilmu pengetahuan modern ternyata sarat nilai Barat.

Andalannya akal semata dengan cara pandang yang dualistis. Realitas hanya dibatasi pada Being yang temporal dan human being menjadi sentral. Ismail al-Faruqi dan Hossein Nasr mengamini. Al-Faruqi menyoal dualisme ilmu dan sistim pendidikan Muslim. Nasr mengkritisi mengapa jejak Tuhan dihapuskan dari hukum alam dan dari realitas alam. Ketiganya seakan menyesali seandainya yang menguasai dunia bukan Barat eksploitasi alam yang merusak itu tak pernah terjadi.

Ilmu yang seperti itu harus diislamkan, kata al-Attas. Namun mengislamkan ilmu itu tanpa syahadat dan jabat tangan sang qadi. Diislamkan artinya dibebaskan, diserah dirikan kepada Tuhan. Dibebaskan dari faham sekular yang ada dalam pikiran Muslim. Khususnya dalam penafsiran-penafsiran fakta-fakta dan formulasi teori-teori. Pada saat yang sama dimasuki konsep din, manusia ( insan), ilmu ( ilm dan ma’rifah), keadilan (‘ adl), konsep amal yang benar (amal sebagai adab) dsb.

Lalu apakah setelah itu akan lahir mobil Islam, mesin Islam, pesawat terbang Islam dsb? This is silly question, kata al-Attas suatu ketika. Yang diislamkan adalah ilmu dalam diri al-alim, dan bukan al-ma’lum (obyek ilmu), bukan pula teknologi. Yang diislamkan adalah paradigma saintifiknya dan sekaligus worldview-nya. Jika paradigma dan worldviewnya telah berserah diri pada Tuhan, maka sains dapat memproduk teknologi yang ramah lingkungan. Teknologi bisa serasi dengan maqasid syariah dan bukan dengan nafsu manusia. Dengan worldview Islam akan lahir ilmu yang sesuai dengan fitrah manusia, fitrah alam semesta dan fitrah yang diturunkan ( fitrah munazzalah) yakni al-Qur’an, meminjam istilah Ibn Taymiyyah. Dengan paradigma keilmuan Islam akan muncul ilmu yang memadukan ayat-ayat Qur’aniyah, kauniyyah, dan nafsiyyah. Hasilnya adalah ilmun-nafi’ yang menjadi nutrisi iman dan pemicu amal. Itulah misykat yang menyinari kegelapan akal dan kerancuan pemikiran.
http://www.republika.co.id/koran/155/36851/Islamisasi

Alur Seleksi PPPK Guru