Struktur Laporan Kemajuan PKM-Kewirausahaan
Laporan Kemajuan untuk tidak di tulis lebih dari 10 halaman, dengan spasi 1,0 time new roman style dan font 12.
berikut strukturnya:
1. Target Luaran
2. Metode
3. Ketercapaian Target Luaran
4. Permasalahan dan Penyelesaiannya
a) Administrastif
b) Teknis
c) Organisasi Pelaksana
d) Keuangan
e) Lain-lain
5. Penggunaan Biaya
6. Dokumentasi Kegiatan
Ketentraman akan kehidupan tidak akan selamanya berjalan Hanya yang menginginkan perubahan yang dapat merasakan ketentraman dalam hidupnya
Rabu, 27 Mei 2009
KONSEP ISLAM TENTANG FITRAH MUNAZALAH
KONSEP ISLAM TENTANG FITRAH MUNAZALAH
A. PENDAHULUAN
Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya diketahui sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam betul lahir pada mulanya hanya sebagai agama di Mekkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi Negara, selanjutnya membesar di Damsyik menjadi kekuatan politik internasional yang luas daerahnya dan akhirnya berkembang di Baghdad menjadi kebudayaan bahkan peradaban yang tidak kecil pengaruhnya.
Dengan berkembangnya Islam, tidak terlepas dari campur tangan Allah SWT yang telah mengutus Nabi dan Rasul-Nya dengan memberinya wahyu (Kitabullah) sebagai pedoman hidup dalam memberikan petunjuk jalan kebenaran terhadap umat-umatnya.
Hal ini juga merupakan fitrah munazalahnya wahyu, yaitu bentuk petunjuk al Qur’an dan Sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi Fitrah inheren dalam diri manusia yang memberi daya akal yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia (Fitrah Al-Gharizah).
Al-Qur’an di turunkan atas kasih sayang Allah SWT sebagai hidayah bagi manusia di bumi. Hal ini terkait tugas manusia yang sangat besar dan berat, yang tidak cukup diatasi dengan akal rasio saja. Akan tetapi, manusia diberi kebebasan untuk menerima atau menolaknya. Bagi mereka yang menerima wahyu (al-Qur’an) tersebut akan memperoleh rasyad (bimbingan) akal rasionya yang kadang-kadang mengalami kekacauan. Maka wahyu yang berperan menyempurnakan kekacauan tersebut.
Dengan uraian diatas pembahasan fitrah munazalah tidak terlepas dari hubungan akal dan wahyu yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas pengertian akal dan wahyu, fungsi dan kedudukan akal dan wahyu, tujuan pokok wahyu (al-Qur’an), serta cara penyampaian wahyu terkait terjadinya komunikasi antara Tuhan dan nabi-nabi.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Akal dan Wahyu
a. Akal
Akal berasal dari bahasa Arab aqala-ya’qilu yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al-aql sering disebut sebagai lafzh musytarak yakni kata yang memiliki banyak makna.
Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun ruhaniyyun bihi tudriku a-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera (Shobron, 2006: 4).
b. Wahyu
Kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahyu. Dan ia merupakan kata asli Arab, bukan karena pinjaman dari bahasa asing. Kata itu memiliki arti suara, api dan kecepatan. Al-Wahyu juga sering diartikan sebagai bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Oleh karenanya, wahyu dipahami sebagai pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat.
Di dalam al-Qur’an juga terdapat penggunaan kata wahyu dalam pengertian lain, antara lain mempunyai pengertian ilham, seperti terdapat dalam Q.S al-Zalzalah: 5 yang artinya “Karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.” (Daradjat dkk, 1984: 170).
Dalam wacana keagamaan (Islam), wahyu lebih dimaknai sebagai pemberitaan, risalah dan ajaran Allah yang diberikan kepada Nabi dan Rasul-Nya. Dengan demikian, dalam kata wahyu terkandung arti penyampaian sabda atau firman Allah kepada orang-orang yang menjadi pilihan-Nya (Nabi dan Rasul) untuk diteruskan kepada umat manusia sebagai pegangan dan panduan hidup (Shobron, 2006: 4).
Dengan mengetahui pengertian akal dan wahyu, kita dapat mengetahui betapa keduanya saling berhubungan erat. Jika salah satunya ditinggalkan (wahyu) pasti terjadi kekacauan dalam berfikir dan nantinya akan menjerumuskan manusia kejurang kesesatan.
2. Fungsi dan Kedudukan Wahyu dan Akal dalam Memahami Islam
Manusia dalam kehidupan memiliki barometer bagi keberadaannya di bumi, yaitu dalam penggunaan akal. Manusia yang tidak menggunakan akal yang terdiri dari daya pikir dan qalbu, maka hilanglah ciri dari sifat kemanusiaannya. Namun, penggunaan akal yang berlebihan dan diluar proporsinya, juga akan menyebabkan tergelincirnya manusia kelembah dosa dan kesesatan.
Oleh karenanya dalam memahami Islam, akal memiliki kedudukan dan fungsi sebagai berikut:
1) Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran Islam.
2) Akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian al-Qur’an dan Sunnah.
3) Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan semangat al-Qur’an dan Sunnah untuk dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihad.
4) Akal juga berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan al-Qur’an dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi seisinya (Shobron, 2006: 15)
Namun demikian, bagaimanapun hasil akhir pencapaian akal perlu adanya korelasi, perubahan, dan penyempurnaan agar tidak berseberangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Selanjutnya mengenai fungsi dan kedudukan wahyu dalam memahami Islam adalah:
1) Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran Islam. Seluruh pemahaman dan pengamalan ajaran Islam harus dirujukkan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, jika dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam tidak merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah adalah tidak tepat dan hanya omong kosong belaka.
2) Wahyu sebagai landasan etik. Karena wahyu itu akan dapat berfungsi bila akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami Islam harus dibimbing oleh wahyu, agar hasil pemahamannya benar dan pengamalannya juga benar. Sehingga akal tidak boleh melenceng dari prinsip-prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu (Shobron, 2006: 16).
3. Tujuan Pokok Wahyu (al-Qur’an)
Adapun tujuan pokok wahyu (al-Qur’an) sebagai berikut:
1) Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan dan keEsaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
2) Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
3) Petunjuk mengenal syariat hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dan hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya atau dengan kata lain al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan di dunia dan di akherat (Mahmud, 1986: 14).
4. Cara Penyampaian Wahyu
Penjelasan tentang cara penyampaian wahyu terkait terjadinya komunikasi antara Tuhan dan para Nabi, diberikan oleh al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat dari surat al-Syura menjelaskan yang artinya:
Tidak terjadi bahwa Allah berbicara kepada manusia kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tabir, atau dengan mengirimkan seorang utusan, untuk mewahyukan apa yang Ia kehendaki dengan seizin-Nya. Sesungguhnya ia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana (Q.S. as-Syura: 51).
Jadi, menurut ayat al-Qur’an diatas ada tiga cara, pertama melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham, kedua dari belakang tabir sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa, dan ketiga melalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.
Selanjutnya dalam surat al-Baqarah juga dijelaskan yang artinya:
Katakanlah: Barang siapa memusuhi Jibril, maka ialah yang menurunkan (al-Qur’an) ke dalam kalbumu dengan seizin Allah, dengan membenarkan apa yang diturunkan sebelumnya dan untuk menjadi bimbingan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman (Q.S. al-Baqarah: 97).
Ayat ini dengan jelas menggambarkan bahwa firman Allah sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w melalui Jibril sebagai utusan Tuhan, jadi bukan melalui ilham ataupun dari balik tabir.
Sebagai telah digambarkan diatas dalam konsep wahyu terkandung pengertian adanya komunikasi antara Tuhan, yang bersifat imateridan manusia yang bersifat materi.
Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat di hati sanubari. Filosof Islam mempertajam daya fikir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada ha-hal yang bersifat murni abstrak, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada penyucian jiwa dengan banyak beribadat dan mengingat Tuhan, kalbu seorang sufi akan menjadi bersih, sehingga ia dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan. Akan tetapi, keduanya dalam berkomunikasi dengan Tuhan tidak sampai mengambil bentuk wahyu, karena wahyu adalah khusus bagi nabi-nabi (Nasution, 1986:18).
Adanya komunikasi antara orang-orang tertentu dengan Tuhan bukanlah hal yang ganjil. Oleh karena itu, adanya dalam Islam wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad s.a.w, bukanlah suatu hal yang tidak dapat diterima akal.
C. PENUTUP
Dari uraian yang telah diberikan diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep Islam tentang fitrah munazalah (diturunkannya wahyu) kepada umat manusia di bumi adalah sebagai pedoman hidup dalam penggunaan akalnya, agar tidak terjerumus ke jurang kesesatan.
Fungsi dan kedudukan wahyu sangatah penting dalam memahami Islam, yaitu sebagai rujukan dalam pengamalan ajaran Islam itu sendiri. Akan tetapi, disini akal juga berperan penting dalam memahami isi kandungan wahyu (al-Qur’an) yaitu: upaya menangkap pesan-pesan yang terdapat didalamnya dan menjabarkannya.
Wahyu diturunkan Tuhan dalam wujud imateri yang penyampaiannya hanya diberikan kepada para Nabi melalui malaikat Jibril, sedangkan kepada manusia selain nabi-nabi-Nya tidak dapat dikatakan sebagai wahyu. Sehingga tidak ada lagi keraguan tentang turunnya wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad s.a.w berupa al-Qur’an.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan uraian dalam makalah ini dapat memberikan tambahan khasanah keilmuan bagi para pembaca, khususnya bagi penulis sendiri. Kami merasa masih banyak sekali kekurangan dalam makalah ini, baik dari segi isi maupun dari segi penulisannya. Oleh karena itu, kami harapkan kritik dan sarannya demi perbaikan makalah ini, sehingga dapat menjadi lebih baik lagi.
KONSEP ISLAM TENTANG FITRAH MUNAZALAH
Oleh:
Safrudin Wakhid
G 000 050 004
JURUSAN TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2009
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakih dkk. 1984. Dasar-Dasar Agama Islam: Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi. Bulan Bintang: Jakarta.
Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Universitas Indonesia Press: Jakarta.
Shobron, Sudarno. 2006. Studi Islam 3. LPID UMS: Surakarta.
A. PENDAHULUAN
Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya diketahui sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam betul lahir pada mulanya hanya sebagai agama di Mekkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi Negara, selanjutnya membesar di Damsyik menjadi kekuatan politik internasional yang luas daerahnya dan akhirnya berkembang di Baghdad menjadi kebudayaan bahkan peradaban yang tidak kecil pengaruhnya.
Dengan berkembangnya Islam, tidak terlepas dari campur tangan Allah SWT yang telah mengutus Nabi dan Rasul-Nya dengan memberinya wahyu (Kitabullah) sebagai pedoman hidup dalam memberikan petunjuk jalan kebenaran terhadap umat-umatnya.
Hal ini juga merupakan fitrah munazalahnya wahyu, yaitu bentuk petunjuk al Qur’an dan Sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi Fitrah inheren dalam diri manusia yang memberi daya akal yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia (Fitrah Al-Gharizah).
Al-Qur’an di turunkan atas kasih sayang Allah SWT sebagai hidayah bagi manusia di bumi. Hal ini terkait tugas manusia yang sangat besar dan berat, yang tidak cukup diatasi dengan akal rasio saja. Akan tetapi, manusia diberi kebebasan untuk menerima atau menolaknya. Bagi mereka yang menerima wahyu (al-Qur’an) tersebut akan memperoleh rasyad (bimbingan) akal rasionya yang kadang-kadang mengalami kekacauan. Maka wahyu yang berperan menyempurnakan kekacauan tersebut.
Dengan uraian diatas pembahasan fitrah munazalah tidak terlepas dari hubungan akal dan wahyu yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas pengertian akal dan wahyu, fungsi dan kedudukan akal dan wahyu, tujuan pokok wahyu (al-Qur’an), serta cara penyampaian wahyu terkait terjadinya komunikasi antara Tuhan dan nabi-nabi.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Akal dan Wahyu
a. Akal
Akal berasal dari bahasa Arab aqala-ya’qilu yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al-aql sering disebut sebagai lafzh musytarak yakni kata yang memiliki banyak makna.
Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun ruhaniyyun bihi tudriku a-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera (Shobron, 2006: 4).
b. Wahyu
Kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahyu. Dan ia merupakan kata asli Arab, bukan karena pinjaman dari bahasa asing. Kata itu memiliki arti suara, api dan kecepatan. Al-Wahyu juga sering diartikan sebagai bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Oleh karenanya, wahyu dipahami sebagai pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat.
Di dalam al-Qur’an juga terdapat penggunaan kata wahyu dalam pengertian lain, antara lain mempunyai pengertian ilham, seperti terdapat dalam Q.S al-Zalzalah: 5 yang artinya “Karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.” (Daradjat dkk, 1984: 170).
Dalam wacana keagamaan (Islam), wahyu lebih dimaknai sebagai pemberitaan, risalah dan ajaran Allah yang diberikan kepada Nabi dan Rasul-Nya. Dengan demikian, dalam kata wahyu terkandung arti penyampaian sabda atau firman Allah kepada orang-orang yang menjadi pilihan-Nya (Nabi dan Rasul) untuk diteruskan kepada umat manusia sebagai pegangan dan panduan hidup (Shobron, 2006: 4).
Dengan mengetahui pengertian akal dan wahyu, kita dapat mengetahui betapa keduanya saling berhubungan erat. Jika salah satunya ditinggalkan (wahyu) pasti terjadi kekacauan dalam berfikir dan nantinya akan menjerumuskan manusia kejurang kesesatan.
2. Fungsi dan Kedudukan Wahyu dan Akal dalam Memahami Islam
Manusia dalam kehidupan memiliki barometer bagi keberadaannya di bumi, yaitu dalam penggunaan akal. Manusia yang tidak menggunakan akal yang terdiri dari daya pikir dan qalbu, maka hilanglah ciri dari sifat kemanusiaannya. Namun, penggunaan akal yang berlebihan dan diluar proporsinya, juga akan menyebabkan tergelincirnya manusia kelembah dosa dan kesesatan.
Oleh karenanya dalam memahami Islam, akal memiliki kedudukan dan fungsi sebagai berikut:
1) Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran Islam.
2) Akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian al-Qur’an dan Sunnah.
3) Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan semangat al-Qur’an dan Sunnah untuk dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihad.
4) Akal juga berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan al-Qur’an dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi seisinya (Shobron, 2006: 15)
Namun demikian, bagaimanapun hasil akhir pencapaian akal perlu adanya korelasi, perubahan, dan penyempurnaan agar tidak berseberangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Selanjutnya mengenai fungsi dan kedudukan wahyu dalam memahami Islam adalah:
1) Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran Islam. Seluruh pemahaman dan pengamalan ajaran Islam harus dirujukkan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, jika dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam tidak merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah adalah tidak tepat dan hanya omong kosong belaka.
2) Wahyu sebagai landasan etik. Karena wahyu itu akan dapat berfungsi bila akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami Islam harus dibimbing oleh wahyu, agar hasil pemahamannya benar dan pengamalannya juga benar. Sehingga akal tidak boleh melenceng dari prinsip-prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu (Shobron, 2006: 16).
3. Tujuan Pokok Wahyu (al-Qur’an)
Adapun tujuan pokok wahyu (al-Qur’an) sebagai berikut:
1) Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan dan keEsaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
2) Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
3) Petunjuk mengenal syariat hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dan hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya atau dengan kata lain al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan di dunia dan di akherat (Mahmud, 1986: 14).
4. Cara Penyampaian Wahyu
Penjelasan tentang cara penyampaian wahyu terkait terjadinya komunikasi antara Tuhan dan para Nabi, diberikan oleh al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat dari surat al-Syura menjelaskan yang artinya:
Tidak terjadi bahwa Allah berbicara kepada manusia kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tabir, atau dengan mengirimkan seorang utusan, untuk mewahyukan apa yang Ia kehendaki dengan seizin-Nya. Sesungguhnya ia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana (Q.S. as-Syura: 51).
Jadi, menurut ayat al-Qur’an diatas ada tiga cara, pertama melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham, kedua dari belakang tabir sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa, dan ketiga melalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.
Selanjutnya dalam surat al-Baqarah juga dijelaskan yang artinya:
Katakanlah: Barang siapa memusuhi Jibril, maka ialah yang menurunkan (al-Qur’an) ke dalam kalbumu dengan seizin Allah, dengan membenarkan apa yang diturunkan sebelumnya dan untuk menjadi bimbingan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman (Q.S. al-Baqarah: 97).
Ayat ini dengan jelas menggambarkan bahwa firman Allah sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w melalui Jibril sebagai utusan Tuhan, jadi bukan melalui ilham ataupun dari balik tabir.
Sebagai telah digambarkan diatas dalam konsep wahyu terkandung pengertian adanya komunikasi antara Tuhan, yang bersifat imateridan manusia yang bersifat materi.
Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat di hati sanubari. Filosof Islam mempertajam daya fikir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada ha-hal yang bersifat murni abstrak, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada penyucian jiwa dengan banyak beribadat dan mengingat Tuhan, kalbu seorang sufi akan menjadi bersih, sehingga ia dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan. Akan tetapi, keduanya dalam berkomunikasi dengan Tuhan tidak sampai mengambil bentuk wahyu, karena wahyu adalah khusus bagi nabi-nabi (Nasution, 1986:18).
Adanya komunikasi antara orang-orang tertentu dengan Tuhan bukanlah hal yang ganjil. Oleh karena itu, adanya dalam Islam wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad s.a.w, bukanlah suatu hal yang tidak dapat diterima akal.
C. PENUTUP
Dari uraian yang telah diberikan diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep Islam tentang fitrah munazalah (diturunkannya wahyu) kepada umat manusia di bumi adalah sebagai pedoman hidup dalam penggunaan akalnya, agar tidak terjerumus ke jurang kesesatan.
Fungsi dan kedudukan wahyu sangatah penting dalam memahami Islam, yaitu sebagai rujukan dalam pengamalan ajaran Islam itu sendiri. Akan tetapi, disini akal juga berperan penting dalam memahami isi kandungan wahyu (al-Qur’an) yaitu: upaya menangkap pesan-pesan yang terdapat didalamnya dan menjabarkannya.
Wahyu diturunkan Tuhan dalam wujud imateri yang penyampaiannya hanya diberikan kepada para Nabi melalui malaikat Jibril, sedangkan kepada manusia selain nabi-nabi-Nya tidak dapat dikatakan sebagai wahyu. Sehingga tidak ada lagi keraguan tentang turunnya wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad s.a.w berupa al-Qur’an.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan uraian dalam makalah ini dapat memberikan tambahan khasanah keilmuan bagi para pembaca, khususnya bagi penulis sendiri. Kami merasa masih banyak sekali kekurangan dalam makalah ini, baik dari segi isi maupun dari segi penulisannya. Oleh karena itu, kami harapkan kritik dan sarannya demi perbaikan makalah ini, sehingga dapat menjadi lebih baik lagi.
KONSEP ISLAM TENTANG FITRAH MUNAZALAH
Oleh:
Safrudin Wakhid
G 000 050 004
JURUSAN TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2009
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakih dkk. 1984. Dasar-Dasar Agama Islam: Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi. Bulan Bintang: Jakarta.
Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Universitas Indonesia Press: Jakarta.
Shobron, Sudarno. 2006. Studi Islam 3. LPID UMS: Surakarta.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
Makna Sains Islam Memahami makna sains Islam tidak cukup dengan sebuah atau dua buah definisi. Ini tidak berarti bahwa sains Islam tidak def...
-
Makna Sains Islam Memahami makna sains Islam tidak cukup dengan sebuah atau dua buah definisi. Ini tidak berarti bahwa sains Islam tidak def...
-
Sistem Pendidikan Terpadu Pada hakikatnya, kehidupan manusia sangat berkaitan erat dengan persoalan pendidikan dan itu berlaku sepanjang hid...