Peranan Perempuan dalam Politik Terbentur Budaya Patriarki
Solo, Kompas - Peranan perempuan dalam politik terutama dalam Pemilihan Umum 2004 mendatang masih terbentur pada budaya patriarki yang sudah mengakar di Indonesia. Budaya ini dapat menghambat aktivitas perempuan dalam berpolitik. Apalagi untuk perempuan yang sudah menikah.
Demikian diungkapkan Ketua Departemen Perempuan Partai Persatuan Oposisi Rakyat (PPOR) Vivi Widyawati dalam seminar Pemilu 2004 dan Peluang Politik Perempuan yang diselenggarakan Solidaritas Perempuan Untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK HAM) di Solo, Selasa (30/9).
Menurut Vivi, budaya patriarki telah menenggelamkan kaum perempuan tidak hanya dalam wilayah domestik, tetapi juga telah memasung kaum perempuan dengan menempatkan posisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya kaum perempuan. Perempuan juga tidak punya peranan dalam dunia politik.
"Untuk suatu perubahan agar perempuan mempunyai peranan dalam berpolitik atau mengubah budaya patriarki itu juga membutuhkan suatu proses. Apalagi, budaya patriarki ini sudah dialami oleh hampir semua perempuan dari kelas mana pun," papar Vivi.
Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Solo Hadi Rudyatmo menyatakan, jika kita mengukur partisipasi politik perempuan, tentang persamaan hak untuk memilih dan dipilih, terlihat bahwa perempuan lebih banyak digunakan sebagai alat untuk memobilisasi selama pemilu.
Hadi menjelaskan, dalam perjalanan sejarah pemilu yang sudah dilakukan enam kali, pilihan perempuan Indonesia bukanlah pilihan yang mandiri, tetapi ikut suami.
Perempuan tidak mandiri melakukan pilihannya. Misalnya saja dari penelitian Institute for Policy and Community Development Studies (IPCOS) Indonesia, pada Pemilu 1997 hanya 13 persen perempuan yang membuat pilihan politik secara independen dan 83 persen membuat pilihan politik berdasarkan referensi dari suami.
"Kebanyakan perempuan menganggap ikut serta dalam pemilu adalah sebagai kewajiban dibandingkan hak setiap warga negara yang bertanggung jawab," ungkap Hadi. (sie)
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0310/02/jateng/598911.htm
Ketentraman akan kehidupan tidak akan selamanya berjalan Hanya yang menginginkan perubahan yang dapat merasakan ketentraman dalam hidupnya
Sabtu, 13 Juni 2009
Rabu, 27 Mei 2009
Struktur Laporan Kemajuan PKM-Kewirausahaan
Struktur Laporan Kemajuan PKM-Kewirausahaan
Laporan Kemajuan untuk tidak di tulis lebih dari 10 halaman, dengan spasi 1,0 time new roman style dan font 12.
berikut strukturnya:
1. Target Luaran
2. Metode
3. Ketercapaian Target Luaran
4. Permasalahan dan Penyelesaiannya
a) Administrastif
b) Teknis
c) Organisasi Pelaksana
d) Keuangan
e) Lain-lain
5. Penggunaan Biaya
6. Dokumentasi Kegiatan
Laporan Kemajuan untuk tidak di tulis lebih dari 10 halaman, dengan spasi 1,0 time new roman style dan font 12.
berikut strukturnya:
1. Target Luaran
2. Metode
3. Ketercapaian Target Luaran
4. Permasalahan dan Penyelesaiannya
a) Administrastif
b) Teknis
c) Organisasi Pelaksana
d) Keuangan
e) Lain-lain
5. Penggunaan Biaya
6. Dokumentasi Kegiatan
KONSEP ISLAM TENTANG FITRAH MUNAZALAH
KONSEP ISLAM TENTANG FITRAH MUNAZALAH
A. PENDAHULUAN
Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya diketahui sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam betul lahir pada mulanya hanya sebagai agama di Mekkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi Negara, selanjutnya membesar di Damsyik menjadi kekuatan politik internasional yang luas daerahnya dan akhirnya berkembang di Baghdad menjadi kebudayaan bahkan peradaban yang tidak kecil pengaruhnya.
Dengan berkembangnya Islam, tidak terlepas dari campur tangan Allah SWT yang telah mengutus Nabi dan Rasul-Nya dengan memberinya wahyu (Kitabullah) sebagai pedoman hidup dalam memberikan petunjuk jalan kebenaran terhadap umat-umatnya.
Hal ini juga merupakan fitrah munazalahnya wahyu, yaitu bentuk petunjuk al Qur’an dan Sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi Fitrah inheren dalam diri manusia yang memberi daya akal yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia (Fitrah Al-Gharizah).
Al-Qur’an di turunkan atas kasih sayang Allah SWT sebagai hidayah bagi manusia di bumi. Hal ini terkait tugas manusia yang sangat besar dan berat, yang tidak cukup diatasi dengan akal rasio saja. Akan tetapi, manusia diberi kebebasan untuk menerima atau menolaknya. Bagi mereka yang menerima wahyu (al-Qur’an) tersebut akan memperoleh rasyad (bimbingan) akal rasionya yang kadang-kadang mengalami kekacauan. Maka wahyu yang berperan menyempurnakan kekacauan tersebut.
Dengan uraian diatas pembahasan fitrah munazalah tidak terlepas dari hubungan akal dan wahyu yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas pengertian akal dan wahyu, fungsi dan kedudukan akal dan wahyu, tujuan pokok wahyu (al-Qur’an), serta cara penyampaian wahyu terkait terjadinya komunikasi antara Tuhan dan nabi-nabi.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Akal dan Wahyu
a. Akal
Akal berasal dari bahasa Arab aqala-ya’qilu yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al-aql sering disebut sebagai lafzh musytarak yakni kata yang memiliki banyak makna.
Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun ruhaniyyun bihi tudriku a-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera (Shobron, 2006: 4).
b. Wahyu
Kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahyu. Dan ia merupakan kata asli Arab, bukan karena pinjaman dari bahasa asing. Kata itu memiliki arti suara, api dan kecepatan. Al-Wahyu juga sering diartikan sebagai bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Oleh karenanya, wahyu dipahami sebagai pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat.
Di dalam al-Qur’an juga terdapat penggunaan kata wahyu dalam pengertian lain, antara lain mempunyai pengertian ilham, seperti terdapat dalam Q.S al-Zalzalah: 5 yang artinya “Karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.” (Daradjat dkk, 1984: 170).
Dalam wacana keagamaan (Islam), wahyu lebih dimaknai sebagai pemberitaan, risalah dan ajaran Allah yang diberikan kepada Nabi dan Rasul-Nya. Dengan demikian, dalam kata wahyu terkandung arti penyampaian sabda atau firman Allah kepada orang-orang yang menjadi pilihan-Nya (Nabi dan Rasul) untuk diteruskan kepada umat manusia sebagai pegangan dan panduan hidup (Shobron, 2006: 4).
Dengan mengetahui pengertian akal dan wahyu, kita dapat mengetahui betapa keduanya saling berhubungan erat. Jika salah satunya ditinggalkan (wahyu) pasti terjadi kekacauan dalam berfikir dan nantinya akan menjerumuskan manusia kejurang kesesatan.
2. Fungsi dan Kedudukan Wahyu dan Akal dalam Memahami Islam
Manusia dalam kehidupan memiliki barometer bagi keberadaannya di bumi, yaitu dalam penggunaan akal. Manusia yang tidak menggunakan akal yang terdiri dari daya pikir dan qalbu, maka hilanglah ciri dari sifat kemanusiaannya. Namun, penggunaan akal yang berlebihan dan diluar proporsinya, juga akan menyebabkan tergelincirnya manusia kelembah dosa dan kesesatan.
Oleh karenanya dalam memahami Islam, akal memiliki kedudukan dan fungsi sebagai berikut:
1) Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran Islam.
2) Akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian al-Qur’an dan Sunnah.
3) Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan semangat al-Qur’an dan Sunnah untuk dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihad.
4) Akal juga berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan al-Qur’an dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi seisinya (Shobron, 2006: 15)
Namun demikian, bagaimanapun hasil akhir pencapaian akal perlu adanya korelasi, perubahan, dan penyempurnaan agar tidak berseberangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Selanjutnya mengenai fungsi dan kedudukan wahyu dalam memahami Islam adalah:
1) Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran Islam. Seluruh pemahaman dan pengamalan ajaran Islam harus dirujukkan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, jika dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam tidak merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah adalah tidak tepat dan hanya omong kosong belaka.
2) Wahyu sebagai landasan etik. Karena wahyu itu akan dapat berfungsi bila akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami Islam harus dibimbing oleh wahyu, agar hasil pemahamannya benar dan pengamalannya juga benar. Sehingga akal tidak boleh melenceng dari prinsip-prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu (Shobron, 2006: 16).
3. Tujuan Pokok Wahyu (al-Qur’an)
Adapun tujuan pokok wahyu (al-Qur’an) sebagai berikut:
1) Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan dan keEsaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
2) Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
3) Petunjuk mengenal syariat hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dan hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya atau dengan kata lain al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan di dunia dan di akherat (Mahmud, 1986: 14).
4. Cara Penyampaian Wahyu
Penjelasan tentang cara penyampaian wahyu terkait terjadinya komunikasi antara Tuhan dan para Nabi, diberikan oleh al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat dari surat al-Syura menjelaskan yang artinya:
Tidak terjadi bahwa Allah berbicara kepada manusia kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tabir, atau dengan mengirimkan seorang utusan, untuk mewahyukan apa yang Ia kehendaki dengan seizin-Nya. Sesungguhnya ia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana (Q.S. as-Syura: 51).
Jadi, menurut ayat al-Qur’an diatas ada tiga cara, pertama melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham, kedua dari belakang tabir sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa, dan ketiga melalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.
Selanjutnya dalam surat al-Baqarah juga dijelaskan yang artinya:
Katakanlah: Barang siapa memusuhi Jibril, maka ialah yang menurunkan (al-Qur’an) ke dalam kalbumu dengan seizin Allah, dengan membenarkan apa yang diturunkan sebelumnya dan untuk menjadi bimbingan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman (Q.S. al-Baqarah: 97).
Ayat ini dengan jelas menggambarkan bahwa firman Allah sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w melalui Jibril sebagai utusan Tuhan, jadi bukan melalui ilham ataupun dari balik tabir.
Sebagai telah digambarkan diatas dalam konsep wahyu terkandung pengertian adanya komunikasi antara Tuhan, yang bersifat imateridan manusia yang bersifat materi.
Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat di hati sanubari. Filosof Islam mempertajam daya fikir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada ha-hal yang bersifat murni abstrak, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada penyucian jiwa dengan banyak beribadat dan mengingat Tuhan, kalbu seorang sufi akan menjadi bersih, sehingga ia dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan. Akan tetapi, keduanya dalam berkomunikasi dengan Tuhan tidak sampai mengambil bentuk wahyu, karena wahyu adalah khusus bagi nabi-nabi (Nasution, 1986:18).
Adanya komunikasi antara orang-orang tertentu dengan Tuhan bukanlah hal yang ganjil. Oleh karena itu, adanya dalam Islam wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad s.a.w, bukanlah suatu hal yang tidak dapat diterima akal.
C. PENUTUP
Dari uraian yang telah diberikan diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep Islam tentang fitrah munazalah (diturunkannya wahyu) kepada umat manusia di bumi adalah sebagai pedoman hidup dalam penggunaan akalnya, agar tidak terjerumus ke jurang kesesatan.
Fungsi dan kedudukan wahyu sangatah penting dalam memahami Islam, yaitu sebagai rujukan dalam pengamalan ajaran Islam itu sendiri. Akan tetapi, disini akal juga berperan penting dalam memahami isi kandungan wahyu (al-Qur’an) yaitu: upaya menangkap pesan-pesan yang terdapat didalamnya dan menjabarkannya.
Wahyu diturunkan Tuhan dalam wujud imateri yang penyampaiannya hanya diberikan kepada para Nabi melalui malaikat Jibril, sedangkan kepada manusia selain nabi-nabi-Nya tidak dapat dikatakan sebagai wahyu. Sehingga tidak ada lagi keraguan tentang turunnya wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad s.a.w berupa al-Qur’an.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan uraian dalam makalah ini dapat memberikan tambahan khasanah keilmuan bagi para pembaca, khususnya bagi penulis sendiri. Kami merasa masih banyak sekali kekurangan dalam makalah ini, baik dari segi isi maupun dari segi penulisannya. Oleh karena itu, kami harapkan kritik dan sarannya demi perbaikan makalah ini, sehingga dapat menjadi lebih baik lagi.
KONSEP ISLAM TENTANG FITRAH MUNAZALAH
Oleh:
Safrudin Wakhid
G 000 050 004
JURUSAN TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2009
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakih dkk. 1984. Dasar-Dasar Agama Islam: Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi. Bulan Bintang: Jakarta.
Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Universitas Indonesia Press: Jakarta.
Shobron, Sudarno. 2006. Studi Islam 3. LPID UMS: Surakarta.
A. PENDAHULUAN
Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya diketahui sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam betul lahir pada mulanya hanya sebagai agama di Mekkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi Negara, selanjutnya membesar di Damsyik menjadi kekuatan politik internasional yang luas daerahnya dan akhirnya berkembang di Baghdad menjadi kebudayaan bahkan peradaban yang tidak kecil pengaruhnya.
Dengan berkembangnya Islam, tidak terlepas dari campur tangan Allah SWT yang telah mengutus Nabi dan Rasul-Nya dengan memberinya wahyu (Kitabullah) sebagai pedoman hidup dalam memberikan petunjuk jalan kebenaran terhadap umat-umatnya.
Hal ini juga merupakan fitrah munazalahnya wahyu, yaitu bentuk petunjuk al Qur’an dan Sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi Fitrah inheren dalam diri manusia yang memberi daya akal yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia (Fitrah Al-Gharizah).
Al-Qur’an di turunkan atas kasih sayang Allah SWT sebagai hidayah bagi manusia di bumi. Hal ini terkait tugas manusia yang sangat besar dan berat, yang tidak cukup diatasi dengan akal rasio saja. Akan tetapi, manusia diberi kebebasan untuk menerima atau menolaknya. Bagi mereka yang menerima wahyu (al-Qur’an) tersebut akan memperoleh rasyad (bimbingan) akal rasionya yang kadang-kadang mengalami kekacauan. Maka wahyu yang berperan menyempurnakan kekacauan tersebut.
Dengan uraian diatas pembahasan fitrah munazalah tidak terlepas dari hubungan akal dan wahyu yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas pengertian akal dan wahyu, fungsi dan kedudukan akal dan wahyu, tujuan pokok wahyu (al-Qur’an), serta cara penyampaian wahyu terkait terjadinya komunikasi antara Tuhan dan nabi-nabi.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Akal dan Wahyu
a. Akal
Akal berasal dari bahasa Arab aqala-ya’qilu yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al-aql sering disebut sebagai lafzh musytarak yakni kata yang memiliki banyak makna.
Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun ruhaniyyun bihi tudriku a-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera (Shobron, 2006: 4).
b. Wahyu
Kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahyu. Dan ia merupakan kata asli Arab, bukan karena pinjaman dari bahasa asing. Kata itu memiliki arti suara, api dan kecepatan. Al-Wahyu juga sering diartikan sebagai bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Oleh karenanya, wahyu dipahami sebagai pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat.
Di dalam al-Qur’an juga terdapat penggunaan kata wahyu dalam pengertian lain, antara lain mempunyai pengertian ilham, seperti terdapat dalam Q.S al-Zalzalah: 5 yang artinya “Karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.” (Daradjat dkk, 1984: 170).
Dalam wacana keagamaan (Islam), wahyu lebih dimaknai sebagai pemberitaan, risalah dan ajaran Allah yang diberikan kepada Nabi dan Rasul-Nya. Dengan demikian, dalam kata wahyu terkandung arti penyampaian sabda atau firman Allah kepada orang-orang yang menjadi pilihan-Nya (Nabi dan Rasul) untuk diteruskan kepada umat manusia sebagai pegangan dan panduan hidup (Shobron, 2006: 4).
Dengan mengetahui pengertian akal dan wahyu, kita dapat mengetahui betapa keduanya saling berhubungan erat. Jika salah satunya ditinggalkan (wahyu) pasti terjadi kekacauan dalam berfikir dan nantinya akan menjerumuskan manusia kejurang kesesatan.
2. Fungsi dan Kedudukan Wahyu dan Akal dalam Memahami Islam
Manusia dalam kehidupan memiliki barometer bagi keberadaannya di bumi, yaitu dalam penggunaan akal. Manusia yang tidak menggunakan akal yang terdiri dari daya pikir dan qalbu, maka hilanglah ciri dari sifat kemanusiaannya. Namun, penggunaan akal yang berlebihan dan diluar proporsinya, juga akan menyebabkan tergelincirnya manusia kelembah dosa dan kesesatan.
Oleh karenanya dalam memahami Islam, akal memiliki kedudukan dan fungsi sebagai berikut:
1) Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran Islam.
2) Akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian al-Qur’an dan Sunnah.
3) Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan semangat al-Qur’an dan Sunnah untuk dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihad.
4) Akal juga berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan al-Qur’an dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi seisinya (Shobron, 2006: 15)
Namun demikian, bagaimanapun hasil akhir pencapaian akal perlu adanya korelasi, perubahan, dan penyempurnaan agar tidak berseberangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Selanjutnya mengenai fungsi dan kedudukan wahyu dalam memahami Islam adalah:
1) Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran Islam. Seluruh pemahaman dan pengamalan ajaran Islam harus dirujukkan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, jika dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam tidak merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah adalah tidak tepat dan hanya omong kosong belaka.
2) Wahyu sebagai landasan etik. Karena wahyu itu akan dapat berfungsi bila akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami Islam harus dibimbing oleh wahyu, agar hasil pemahamannya benar dan pengamalannya juga benar. Sehingga akal tidak boleh melenceng dari prinsip-prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu (Shobron, 2006: 16).
3. Tujuan Pokok Wahyu (al-Qur’an)
Adapun tujuan pokok wahyu (al-Qur’an) sebagai berikut:
1) Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan dan keEsaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
2) Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
3) Petunjuk mengenal syariat hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dan hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya atau dengan kata lain al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan di dunia dan di akherat (Mahmud, 1986: 14).
4. Cara Penyampaian Wahyu
Penjelasan tentang cara penyampaian wahyu terkait terjadinya komunikasi antara Tuhan dan para Nabi, diberikan oleh al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat dari surat al-Syura menjelaskan yang artinya:
Tidak terjadi bahwa Allah berbicara kepada manusia kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tabir, atau dengan mengirimkan seorang utusan, untuk mewahyukan apa yang Ia kehendaki dengan seizin-Nya. Sesungguhnya ia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana (Q.S. as-Syura: 51).
Jadi, menurut ayat al-Qur’an diatas ada tiga cara, pertama melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham, kedua dari belakang tabir sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa, dan ketiga melalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.
Selanjutnya dalam surat al-Baqarah juga dijelaskan yang artinya:
Katakanlah: Barang siapa memusuhi Jibril, maka ialah yang menurunkan (al-Qur’an) ke dalam kalbumu dengan seizin Allah, dengan membenarkan apa yang diturunkan sebelumnya dan untuk menjadi bimbingan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman (Q.S. al-Baqarah: 97).
Ayat ini dengan jelas menggambarkan bahwa firman Allah sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w melalui Jibril sebagai utusan Tuhan, jadi bukan melalui ilham ataupun dari balik tabir.
Sebagai telah digambarkan diatas dalam konsep wahyu terkandung pengertian adanya komunikasi antara Tuhan, yang bersifat imateridan manusia yang bersifat materi.
Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat di hati sanubari. Filosof Islam mempertajam daya fikir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada ha-hal yang bersifat murni abstrak, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada penyucian jiwa dengan banyak beribadat dan mengingat Tuhan, kalbu seorang sufi akan menjadi bersih, sehingga ia dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan. Akan tetapi, keduanya dalam berkomunikasi dengan Tuhan tidak sampai mengambil bentuk wahyu, karena wahyu adalah khusus bagi nabi-nabi (Nasution, 1986:18).
Adanya komunikasi antara orang-orang tertentu dengan Tuhan bukanlah hal yang ganjil. Oleh karena itu, adanya dalam Islam wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad s.a.w, bukanlah suatu hal yang tidak dapat diterima akal.
C. PENUTUP
Dari uraian yang telah diberikan diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep Islam tentang fitrah munazalah (diturunkannya wahyu) kepada umat manusia di bumi adalah sebagai pedoman hidup dalam penggunaan akalnya, agar tidak terjerumus ke jurang kesesatan.
Fungsi dan kedudukan wahyu sangatah penting dalam memahami Islam, yaitu sebagai rujukan dalam pengamalan ajaran Islam itu sendiri. Akan tetapi, disini akal juga berperan penting dalam memahami isi kandungan wahyu (al-Qur’an) yaitu: upaya menangkap pesan-pesan yang terdapat didalamnya dan menjabarkannya.
Wahyu diturunkan Tuhan dalam wujud imateri yang penyampaiannya hanya diberikan kepada para Nabi melalui malaikat Jibril, sedangkan kepada manusia selain nabi-nabi-Nya tidak dapat dikatakan sebagai wahyu. Sehingga tidak ada lagi keraguan tentang turunnya wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad s.a.w berupa al-Qur’an.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan uraian dalam makalah ini dapat memberikan tambahan khasanah keilmuan bagi para pembaca, khususnya bagi penulis sendiri. Kami merasa masih banyak sekali kekurangan dalam makalah ini, baik dari segi isi maupun dari segi penulisannya. Oleh karena itu, kami harapkan kritik dan sarannya demi perbaikan makalah ini, sehingga dapat menjadi lebih baik lagi.
KONSEP ISLAM TENTANG FITRAH MUNAZALAH
Oleh:
Safrudin Wakhid
G 000 050 004
JURUSAN TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2009
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakih dkk. 1984. Dasar-Dasar Agama Islam: Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi. Bulan Bintang: Jakarta.
Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Universitas Indonesia Press: Jakarta.
Shobron, Sudarno. 2006. Studi Islam 3. LPID UMS: Surakarta.
Selasa, 14 April 2009
SAINS
Makna Sains Islam
Memahami makna sains Islam tidak cukup dengan sebuah atau dua buah definisi. Ini tidak berarti bahwa sains Islam tidak definitive dan tidak jelas identitasnya. Sebab sebuah konsep ia memerlukan penjelasan-penjelasan dan pendekatan yang komprehensif. Ini dilatarbelakangi oleh suatu kondisi dimana sains Barat Modern dengan globalisasi, westernisasi dan berbagai macam pahamnya tersebar ke seluruh dunia, termasuk dunia Islam, sehingga Muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas sains Islam dan sains Barat. Inilah yang disebut oleh Professor al-Attas sebagai loss of adab yang juga berarti loss of identity. Bahkan antara umat Islam tidak saja kesulitan mengidentifikasi diri, tapi sinis, takut dan malu dengan identitas Islam dan bahkan dia mencemooh identitas itu. Tidak sedikit cendikiawan Muslim yang masih canggung dengan identitas atau sifat “Islam” pada ilmu sosiologi, ilmu fisika, ilmu psikologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dsb. Padahal ketika seseorang menyebut “sains modern” (modern sciences) atau sains Barat (Western Sciences), tanpa disadari, ia telah meletakkan suatu identitas sains tersebut, yaitu sains yang diproduksi oleh idiologi, kepercayaaan dan pandangan-pandangan yang berasal dari peradaban Barat. Demikian pula dengan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, politik, sosiologi dan lain sebagainya.
Dampak dan hilangnya identitas dapat diamati dari berbagai pernyataan pernyataan cendikiawan Muslim mengenai hal ini. Jamaluddin al-Afghani misalnya menyatakan:
“Barangsiapa yang melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya. Agama Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan ilmu pengetahuan, dan tidak ada ketidaksesuaian antara sains dan ilmu pentetahuan dengan dasar-dasar agama.”
Sikap al-Afgani sejalan dengan sikap Sir Syed Ahmad Khan. Bagi Khan Karya Tuhan tidak akan bertentangan dengan kata atau firman-Nya. Jadi tidak mungkin sains bertentangan dengan agama. Dengan nada yang agak berbeda Fazlur Rahman juga setuju. Baginya ilmu netral tergantung kepada siapa yang menggunakannya. Baik al-Afghani, Ahmad Khan maupun Rahman tidak menjelaskan dan mungkin tidak menyadari bahwa Sains yang dipelajari umat Islam yang di abad 19 dan 20 adalah sains Barat. Sains yang lahir dari kepercayaan, kultur dan pandangan hidup manusia barat yang sekuler.
Sikap-sikap diatas bagi Sayyed Hossein Nasr sama dengan menganggap sains Barat sama dengan sains Islam (‘ilm) dengan alasan karena sains Barat adalah hasil terjemahan dari karya-karya Muslim dalam bidang sains. Namun, para pemuja sains barat itu, kata Nasr, tidak meyadari bahwa setelah diterjemahkan sains Islam itu juga dimoifikasi dan disekulerkan, sehingga sains Modern merupakan produk filsafat sains di era Revolusi Sains dan telah mengalami perubahan paradigm sains abad pertengahan dan periode Renaissance awal.
Selain itu, kebanyakan Muslim berpendirian bahwa sains itu bebas nilai (value free) jadi tidak ada bedanya antara sains Islam dan sains Barat. Pendirian ini, selain tidak menyadari adanya shift of paradigm, jelas-jelas menafikan kenyataan bahwa sains Barat, seperti juga sains lain, itu berdasarkan pada system nilai dan pandangan hidup (world view) tertentu yang akarnya dapat ditelusuri dari asumsi-asumsi para saintis terhadap hakekat realitas fisik, subyek yang memahami realitas itu dan hubungan keduanya. Untuk memperjelas perbedaan antara sains Barat dan dan Sains Islam Ziauddin Sardar menyatakan bahwa:
“Jika sains itu sendiri netral, maka sikap kita dalam mendekati sains itulah yang menjadikan sains itu sekuler atau Islami. Pendekatan Islam mengakui keterbatasan otak dan akal manusia, serta mengakui bahwa semua ilmu pengetahuan itu berasal dari Tuhan.”
Sementara Identitas Sains Barat, sebagaimana disinyalir Maryam Jameelah :
“Sains modern tidak dibimbing oleh atau kehilangan nilai moralnya, bahkan dikuasai oleh materialism dan arogansi. Seluruh cabang ilmu dan aplikasinya telah terkontaminasi oleh borok yang sama.”
Jadi sains Barat tidak netral dan tentu sudah berbeda dengan sains Islam.
Karena sains Barat tidak member tempat pada wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan, maka sains Barat dianggap netral. Di sini netral adalah bebas dari agama. Realitas Tuah tidak menjadi pertimbangan dalam sains Barat, karena Tuhan dianggap tidak riel. Namun sains tidak bebas dari idiologi, kultur, cara pandang dan kebudayaan manusia Barat. Dan ternyata dalam sains sendiri terdapat asumsi-asumsi, doktrin-dktrin yang tidak beda dengan agama. Pada akhirnya doktrin-doktrin sains yang dipercayai sebagai pasti, dipertentangkan dengan doktrin-doktrin agama yang dianggap tidak rasional dan tidak empiris. Yang terpojok dan dipojokkan adalah agama. Agama bahkan dipertanyakan dan dituntut untuk direformasi agar mengikuti asumsi-asumsi sains. Agama jadi termaginalkan dan kini ditinggalkan.
Secara lebih luas lagi, perbedaan sains Barat dan sains Islam dapat ditelusuri dari perbedaan pandangan hidup (worldview) keduanya. Perbedaan pandangan hidup berarti perbedaan konsep-konsep fundamental di dalamnya. Konsep Tuhan, ilmu, manusia, alam, etika, dan agama berbeda antara peradaban satu dengan yang lain. Dalam situasi seperti ini pertemuan keduanya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktanya memang sains Barat Modern itu ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup (worldview) Islam. Dalam Islam pengatahuan tentang realitas itu tidak hanya berdasarkan pada akal saja, tetapi juga wahyu, intuisi dan pengalaman. Tapi sains Barat akal diletakkan lebih tinggi dari wahyu dan bahkan meninggalkan wahyu. Akhirnya, sains tidak berhubungan harmonis dengan agama, bahkan meninggalkan agama.
Sejatinya, dengan memahami sains Barat dan sains Islam dengan konsep worldview, kita dapat dengan mudah mengenal identitas Sains Islam. Sebab dalam Islam cara pandang terhadap alam semesta, terhadap makna realitas, makna ilmu, tata nilai dan moralitas berbeda dengan cara pandang Barat. Menurut pandangan hidup Islam alam semesta ini merupakan Kitab Ciptaan (Created Book) Tuhan. Karena itu alam harus dipahami, dilihat, diamati dan diteliti dengan pandanga hidup Islam. Zaidi Ismail membahas bagaimana Islam memandang alam semesta yang merupakan obyk utama sains. Cara pandang Islam yang direfleksikan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview) itu dapat dilacak dari peristilahan yang digunakan di dalam Al-Qur’an dan Hadith. Istilah-istilah ilmu (‘ilm), Ilmuwan (al-‘alim), alam (al-‘alam) merupakan derivasi dari akar kata yang sama. Ini menunjukkan konsep integral antara subyek ilmu, obyek ilmu dan ilmu itu sendiri. Franz Rosenthal bahkan berani menyimpulkan bahwa ilmu adalah Islam. Alam sebagai sebagai ciptaan diistilahkan sebagai khalq memiliki akar yang sama dengan istilah moralitas manusia (Akhlaq). Ini menunjukkan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan itu mesti menggunakan etika dan moralitas. ( Baca: kosmos dalam pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim).
Kaitan-kaitan antara diri ilmuwan, wahyu dan alam semesta dapat dengan mudah dipahami karena ketiganya memiliki ayat-ayat. Ayat artinya tanda dan tanda menunjukkan sesuatu yang lain dari dirinya. Jadi korelasi antara- ayat-ayat itu pada akhirnya, bagi orang yang berfikir, akan menunjukkan adanya Tuhan adalah Penciptanya. Selain melalui ayat-ayat kaitan itu juga dapat dipahami melalui konsep fitrah. Kaitan manusia dan alam wahyu dalam ikatan konsep fitrah, namun karena akal manusia tidak mampu memahami alam ini dengan baik, maka Allah menurunkan petunjuk yang berupa fitrah munazzalah yaitu Al-Qur’an. Artinya ketiga fitrah itu, jika dipahami dengan sebaik-baiknya akan menghasilkan ilmu yang benar. Dari kesamaan ini saja sudah dapat dijelaskan betapa integralnya ajaran Islam dalam memahami alam semesta yang merupakan basis bagi pengembangan sains dan teknologi.
Konsep integral seperti yang digambarkan diatas berdampak terhadap orientasi sains masyarakat masyarakat Muslim dan itu adalah sebagian konsep dari worldview Islam yang dapat menjadi basis bagi lahirnya tradisi intelektual Islam. Professor Alparslan membuktikan secara teoritis bahwa Al-Qur’an dan hadith sebagai sebuah sumber ilmu pengetahuan Islam memiliki konsep keilmuan yang mendorong munculnya tradisi intelektual dan lahirnya sains serta ilmu pengetahuan Islam.
Secara kronologis menurut Alparslan perjalanan dari Al-Qur’an menjadi disiplin ilmu didahului oleh tiga hal: pertama, adalah worlview (dari para ilmuwan), yang merupakan lingkungan konseptual dimana aktivitas keilmuan dikembangkan. Kedua, adalah jaringan konsep keilmuan yang telah jelas bentuknya, yang disebut sebagai “struktur konsep keilmuan” (scientific conceptual scheme. Dan ketiga, adalah jaringan kosa kata teknis dan cara pandang yang dihasilkan jaringan konsep dalam suatu ilmu tertentu, yang disebut dengan “struktur konsep keilmuan khusus” (specific scientific conceptual scheme).
Pandangan hidup para ilmuan, yang dalam hal ini ilmuan Muslim, sudah barang tentu diperoleh dari apa yang diproyeksikan oleh Al-Qur’an yang dijelaskan oleh Nabi. Bagaimana Nabi mentransformasikan pandangan hidup Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat ditelusuri terutama sejak Nabi Hijrah ke Madinah. Di sana beliau memulai membangun institusi-institusi khusus yang kemudian menjadi model pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Al-suffah adalah “universitas” pertama yang dibangun sendiri oleh Nabi di Madinah. Mahasiswanya disebut ashab al-Suffah, atau ahl al-Suffah di dalamnya mereka membaca, menulis, belajar hukum-hukum Islam, menghapal dan mempraktekkan Al-Qur’an, belajar tajwid dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Semua diajarkan langsung di bawah pengawasan Nabi. Ubaidah ibn al-Samit misalnya, seperti disebutkan dalan Sunan Abu Dawud, ditunjukk Nabi menjadi guru di madrasah al-suffah untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Aktifitas ilmiyah dalam rangka memahami Al-Qur’an yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan di dalamnya itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan (scientific community). Komunitas ilmuwan atau ulama Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu. (Baca: Lahirnya Tradisi Keilmuan Dalam Islam).
Jika lahirnya sains Islam dalam tradisi intelektual Islam telah dibuktikan secara teoritis dan historis oleh Alparslan, maka Adi Setia lebih memperjelas bagi identitas sains Islam dengan membeberkan makna teknis sains Islam. Adi menjelaskan bahwa makna sains Islam dapat diidentifikasi, pertama-tama, melalui fakta-fakta sejarah yaitu adanya tokoh-tokoh saintis muslim yang berwibawa seperti Ibn Haytham, Ibn Syna, al-Khawarizmi, al-Biruni, Omar Khayyam dan lain sebagainya. Saintis Muslim adalah mereka yang memiliki aktifitas saintifik berdasarkan pandangan hidup Islam.
Makna kedua dari sains Islam, menurut Adi, adalah pandangan-pandangan saintis atau cendikiawan Muslim yang secara teoritis, konseptual berangkat dari pandangan hidup Islam. Pandangan-pandangan yang telah berbentuk karya-karya ini memiliki identitas tersendiri sehingga secara tidak langsung berbeda atau kritis terhadap sains atau ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan Islam. Makna ketiga, adalah upaya-upaya ilmuan Muslim untuk merumuskan kembali konsep-konsep sains Islam berdasarkan pandangan hidup Islam dengan tujuan menghasilkan definisi, metodologi, paradigm keilmuan Islam yang dapat menghasikan teknologi yang tepat guna dan tepat nilai serta bermanfaat bagi kesejahteraan umat lahir dan bathin.
Dengan paparan diatas identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan lagi, baik secara teoritis, historis ataupun prospektifnya. Kajian historis bagaimana sains dalam Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban Islam dan kehidupan umat Islam terbukti di Andalusia. Professor Wan Mohd Nor Wan Daud memaparkan bagaimana Andalusia merupakan kawasan paling beradab di dunia pada waktu itu, dimana sains, politik dan kehidupan social lainnya saling menopang dan saling bekerjasama dalam sebuah harmoni kehidupan ( Baca: Iklim Kehidupan Intelektual di Andalusi ).
Professor al-Hassan membahas bagaimana sains Islam Lahir dan mencapai puncaknya antara abad ke 13 dan ke 16. Pernyataan ini mungkin mengejutkan peneliti sejarah sains Islam, karena kebanyakan orientalis dan cendikiawan Muslim yang terpengaruh dengan mereka, umumnya berpendapat bahwa gara-gara serangan al-Ghazali pada abad ke 10 terhadap filsafat maka filsafat dan sains di dunia Islam mundur. Padahal justru pada abad ke 13 sains Islam merangkak menuju puncak kejayaannya. Observatorium Maragha didirikan justru setelah Bahgdad jatuh yaitu tahun 1259. Aktifitas astronomi terus berkembang dan bahkan ditandai oleh astronomer Muslim terkenal ‘Ali Ibn Ibrahim Ibn Shatir (1304-1375), yang karyanya memberikan inspirasi Copernicus untuk menemukan teori Heliosentris. Di Istanbul Observatorium terpentingnya dibawah kepemimpinan Muhammd Ibn Ma’ruf al-Rashid al-Dymashqi masih berdiri tegak hingga tahun 1577 dibawah kekuasaan Sultan Murad III. Disini al-Hassan menegaskan bahwa lahirnya sains Islam disebabkan oleh prinsip-prinsip Islam yang sumbernya adalah al-Qur’an dan hadith ( Baca: factor-faktor di balik kemunduran Ilmu Pengetahuan Islam setelah Abad ke 16 )
Kini persoalannya bukan apakah sains Islam itu ada atau pernah ada, tapi apa yang menyebabkan sains Islam di masa lalu itu mundur hingga kini. Al- Hassan menyimpulkan menjadi 4 faktor penyebabnya: pertama, karena factor ekologi dan alami; kedua, karena invasi-invasi eksternal; ketiga, adalah hancurnya perdagangan internasional dan berkembangnya kekuatan Barat, dan keempat, adalah factor intervensi dan kolonialisasi militer. Karena keempat hal inilah Muslim tidak lagi leading dalam bidang sains seperti pada abad ke 13 hingga abad ke 16. Meski demikian al-Hassan masih melihat kemungkinan-kemungkinan bangkitnya sains Islam di masa depan, mengingat sumber daya manusia dan juga sumber daya alam Negara-negara Muslim sangat potensial untuk itu.
Paparan Dr.Zaidi, Dr. Adi Setia, Prof. Alparslan, Prof. Wan Mohd Nor dan Prof. al-Hassan telah cukup memberikan gambaran bahwa identitas sains Islam itu adalah riel. Namun kebingungan intelektual, kesalahpahaman dan kerancuan konseptual para cendikiawan Muslim, kini wujud sains Islam di sangsikan. Dipermukaan mungkin Nampak benar karena hegemoni epistemology atau filsafat sains Barat telah menghilangkan identitas sains Islam. Untuk itu Seyyed Hossein Nasr memberikan rambu-rambu penting bagi perjalanan menuju terciptanya sains Islam yang murni untuk menghilangkan kesangsian tersebut. Rambu-rambu tersebut pertama, menghilangkan sikap “memuja” sains dan teknologi Barat. Kedua, perlu adanya pendalaman terhadap sumber-sumber Islam tradisional dari al-Qur’an, Hadith, ilmu-ilmu tradisional seperti filsafat, teologi, kosmologi dan lain-lain untuk dapat memformulasikan pandangan alam Islam, khususnya yang berkaitan dengan konsep Islam tentang alam semesta dan ilmu alam. Yakni semua, seperti yang dipaparkan Alparslan, harus dilakukan dalam frame work tradisi intelektual Islam. Ketiga, Muslim perlu mempelajari sains modern setinggi-tingginya, khususnya sains murni dengan begitu mereka akan dapat melakukan transformasi teori secara mendalam. Keempat, menghidupkan kembali sains Islam tradisional sebisa mungkin, khususnya dalam bidang kedokteran, farmasi, pertanian dan arsitektur. Bidang-bidang ini tidak hanya akan menciptakan rasa percaya diri terhadap kultur mereka sendiri, tapi juga akan memberikan konsekuensi social dan ekonomi yang mendalam. Sangat aneh jika terapi akupuntur, Ayurveda, Yoga, Homopathy, dan sebagainya sangat marak, sementara kedokteran Islam masih absen dari aktifitas pengobatan alternative. Kelima, untuk menciptakan sains Islam yang asli adalah dengan mengawinkan sains dan etika, bukan dalam diri saintis tapi dalam struktur teoritis dan fondasi filsafat sainsnya. Yang terakhir inilah yang absen dari sains Barat Modern. Dari uraian yang akan dipaparkan pada edisi ini akan dapat diketahui bagaimana sejatinya sejarah, makna dan sains Islam.
Kalau Emmanuel Kant menyatakan: “ I felt the need leave behind the books I read in order to believe in God” (Saya merasa perlu meninggalkan semua buku yang say abaca agar saya percaya kepada Tuhan), maka bagi Muslim tentu harus berkata:”saya perlu meninggalkan semua buku yang say abaca kalau buku itu tidak menambah keimanan saya kepada Tuhan.” Kalau Kant memilih logika either no, memilih ilmu atau Tuhan, Islam justru menyatukan ilmu dan Tuhan. Wallahu a’lam bissawab.
http://eddysyahrizal.blogspot.com/2008/10/makna-sains-islam.html
Islamisasi
Sekitar tahun 1992 Prof. Dr. Mukti Ali di sela-sela sebuah seminar di Gontor tiba-tiba bergumam, “Bagi saya Islamisasi ilmu pengetahuan itu omong kosong, apanya yang diislamkan, ilmu kan netral”. Prof. Dr. Baiquni yang waktu itu bersama beliau langsung menimpali “Pak Mukti tidak belajar sains, jadi tidak tahu dimana tidak Islamnya ilmu (sains) itu”. Pak Mukti dengan antusias, menyahut “Masa iya, bagaimana itu?” “Sains di Barat itu pada tahap asumsi dan presupposisinya tidak melibatkan Tuhan”, jawab Baiquni. “Jadi ia menjadi sekuler dan anti Tuhan”, Pak Mukti dengan kepolosan dan sikap akademiknya spontan menjawab lagi “Oh begitu”. Diskusi terus berlangsung dan soal ilmu serta Islamisasinya menjadi topik menarik.
Benarkah ilmu pengetahuan masa kini itu tidak mengakui adanya Tuhan? Pernyataan Baiquni sejalan dengan apa kata R. Hooykaas dalam Religion and T he Rise of Mo dern Science. Di Barat dunia dulunya digambarkan sebagai organisme, tapi sejak da tangnya Copernicus hingga Newton bergeser menjadi mekanisme. Pergeseran cara pandang ini pada abad ke 17 telah diprotes pengikut Aristotle. Menurut mereka pandangan terhadap dunia yang mekanistis itu telah menggiring manusia kepada atheisme (kekafiran).
Tapi pendukung mekanisme seperti Beeckman, Basso, Gasendi dan Boyle tidak terima. Dengan dalih konsep mukjizat, Boyle misalnya, beralasan, gambaran mekanistis bisa juga religius. Karena jika materi dan gerak yang menjadi esensi organisme tidak cukup untuk menerangkan fenomena alam, maka ini berarti memungkinkan adanya intervensi Tuhan melalui mukjizat. Artinya masih ada peran Tuhan disitu. Tuhan bisa sewaktu-waktu turun tangan mempengaruhi kausalitas alam semesta. Inilah occassionalisme yang menjadi doktrin Kristen hingga kini. Artinya Tuhan itu sangat transenden, berada jauh disana dan tidak terjangkau. Sementara alam berada disini dan tidak selalu dibawah pengawasan Tuhan.
Menggambarkan dunia sebagai mekanisme berarti melihatnya sebagai mesin. Bagi yang atheis mesin itu ada dengan sendirinya. Bagi yang theis mesin itu diciptakan. Tapi di Barat kekuasaan Pencipta itu direduksi dan akhirnya dihilangkan. Dunia dulu diciptakan namun kini bebas dari Penciptanya. Masih belum lama ketika Henri de Monantheuil seorang penulis Perancis, pada tahun 1599, menyatakan bahwa Tuhan adalah pencipta mesin dan ciptaan-Nya, yaitu dunia ini, berjalan bagaikan sebuah mesin. Tentu, ini membuat jamaah gereja berang. Tuhan gereja dianggap tidak ikut campur urusan dunia.
Faham mekanisme tentang dunia inilah yang menguasai alam pikiran Barat modern. Paradigma positivisme dan empirisisme dalam sains Barat menjadi subur. Otoritas memahami dunia kini berpindah dari gereja ke tangan saintis. Descartes, Gassendi, Pascal, Berkley, Boyle, Huygens dan Newton yang konon membela Tuhan, akhirnya merebut otoritas Tuhan. Jargon “Man is the standard of everything” dinyanyikan ulang. Benar-salah, baik-buruk tidak perlu campur tangan Tuhan. Wahyu dikalahkan akal atau diganti dengan akal.
Jika dulu gereja bisa marah pada Copernicus dan Galelio dan menghukum Bruno, kini hanya dapat menangisi ulah para saintis. Sementara para saintis seperti tidakmau repot dan mengambil posisi, “yang tidak bisa dibuktikan secara empiris bukan sains”. Teologi tidak bisa masuk dalam sains. Bicara fisika tidak perlu melibatkan metafisika. Argumentasi Francis Bacon sangat empiristis “Ilmu berkembang karena kesamaan-kesamaan, sedangkan Tuhan tidak ada kesamaannya”. Maka dari itu dalam teori idola-nya Bacon mewanti-wanti agar tidak melakukan induksi berdasarkan keyakinan.
Selain itu Bacon juga mengakui, kita ini bodoh tentang kehendak dan kekuasaan Tuhan yang tersurat dalam wahyu dan tersirat dalam ciptaan-Nya. Descartes berpikiran sama kehendak Tuhan tak dapat dipahami sehingga menghalangi jalan rasionalisme. Terus? “Kita tidak perlu takut melawan wahyu Tuhan dan melarang meneliti alam ini,” katanya. Sebab tidak ada larangan dalam wahyu. Tuhan memberi manusia hak menguasai alam. Oleh sebab itu kita bisa seperti Tuhan dan mengikuti petunjuk akal kita. Jadi, sebenarnya para saintis bukan tidak percaya Tuhan, tapi mereka kesulitan mengkaitkan teologi dengan epistemologi. Tragedinya, standar kebenaran dan metode penelitian pun akhirnya dimonopoli oleh empirisisme rasional.
Sebenarnya argumentasi Descartes dan Bacon masih belum berganjak dari pertanyaan Ibn Rusyd kepada al-Ghazzali. Na mun karena Ibn Rusyd terlanjut lebih populer dikalangan gereja dengan Averois me nya, pikiran al-Ghazzali tidak dianggap. E. Gillson dalam karyanya Revelation and Reason jelas se kali menyalahkan Ibn Rusyd. Sebab dengan teori kebenaran gandanya ia dianggap telah menabur benih sekularisme pada Descartes, Malebanche, David Hume dan pemikir Barat lainnya. Tuhan tetap disembah dan diyakini wujud-Nya, tapi tidak ditemukan hubung annya dengan pikiran, ilmu atau sains. Al-Attas segera sadar ilmu pengetahuan modern ternyata sarat nilai Barat.
Andalannya akal semata dengan cara pandang yang dualistis. Realitas hanya dibatasi pada Being yang temporal dan human being menjadi sentral. Ismail al-Faruqi dan Hossein Nasr mengamini. Al-Faruqi menyoal dualisme ilmu dan sistim pendidikan Muslim. Nasr mengkritisi mengapa jejak Tuhan dihapuskan dari hukum alam dan dari realitas alam. Ketiganya seakan menyesali seandainya yang menguasai dunia bukan Barat eksploitasi alam yang merusak itu tak pernah terjadi.
Ilmu yang seperti itu harus diislamkan, kata al-Attas. Namun mengislamkan ilmu itu tanpa syahadat dan jabat tangan sang qadi. Diislamkan artinya dibebaskan, diserah dirikan kepada Tuhan. Dibebaskan dari faham sekular yang ada dalam pikiran Muslim. Khususnya dalam penafsiran-penafsiran fakta-fakta dan formulasi teori-teori. Pada saat yang sama dimasuki konsep din, manusia ( insan), ilmu ( ilm dan ma’rifah), keadilan (‘ adl), konsep amal yang benar (amal sebagai adab) dsb.
Lalu apakah setelah itu akan lahir mobil Islam, mesin Islam, pesawat terbang Islam dsb? This is silly question, kata al-Attas suatu ketika. Yang diislamkan adalah ilmu dalam diri al-alim, dan bukan al-ma’lum (obyek ilmu), bukan pula teknologi. Yang diislamkan adalah paradigma saintifiknya dan sekaligus worldview-nya. Jika paradigma dan worldviewnya telah berserah diri pada Tuhan, maka sains dapat memproduk teknologi yang ramah lingkungan. Teknologi bisa serasi dengan maqasid syariah dan bukan dengan nafsu manusia. Dengan worldview Islam akan lahir ilmu yang sesuai dengan fitrah manusia, fitrah alam semesta dan fitrah yang diturunkan ( fitrah munazzalah) yakni al-Qur’an, meminjam istilah Ibn Taymiyyah. Dengan paradigma keilmuan Islam akan muncul ilmu yang memadukan ayat-ayat Qur’aniyah, kauniyyah, dan nafsiyyah. Hasilnya adalah ilmun-nafi’ yang menjadi nutrisi iman dan pemicu amal. Itulah misykat yang menyinari kegelapan akal dan kerancuan pemikiran.
http://www.republika.co.id/koran/155/36851/Islamisasi
Memahami makna sains Islam tidak cukup dengan sebuah atau dua buah definisi. Ini tidak berarti bahwa sains Islam tidak definitive dan tidak jelas identitasnya. Sebab sebuah konsep ia memerlukan penjelasan-penjelasan dan pendekatan yang komprehensif. Ini dilatarbelakangi oleh suatu kondisi dimana sains Barat Modern dengan globalisasi, westernisasi dan berbagai macam pahamnya tersebar ke seluruh dunia, termasuk dunia Islam, sehingga Muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas sains Islam dan sains Barat. Inilah yang disebut oleh Professor al-Attas sebagai loss of adab yang juga berarti loss of identity. Bahkan antara umat Islam tidak saja kesulitan mengidentifikasi diri, tapi sinis, takut dan malu dengan identitas Islam dan bahkan dia mencemooh identitas itu. Tidak sedikit cendikiawan Muslim yang masih canggung dengan identitas atau sifat “Islam” pada ilmu sosiologi, ilmu fisika, ilmu psikologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dsb. Padahal ketika seseorang menyebut “sains modern” (modern sciences) atau sains Barat (Western Sciences), tanpa disadari, ia telah meletakkan suatu identitas sains tersebut, yaitu sains yang diproduksi oleh idiologi, kepercayaaan dan pandangan-pandangan yang berasal dari peradaban Barat. Demikian pula dengan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, politik, sosiologi dan lain sebagainya.
Dampak dan hilangnya identitas dapat diamati dari berbagai pernyataan pernyataan cendikiawan Muslim mengenai hal ini. Jamaluddin al-Afghani misalnya menyatakan:
“Barangsiapa yang melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya. Agama Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan ilmu pengetahuan, dan tidak ada ketidaksesuaian antara sains dan ilmu pentetahuan dengan dasar-dasar agama.”
Sikap al-Afgani sejalan dengan sikap Sir Syed Ahmad Khan. Bagi Khan Karya Tuhan tidak akan bertentangan dengan kata atau firman-Nya. Jadi tidak mungkin sains bertentangan dengan agama. Dengan nada yang agak berbeda Fazlur Rahman juga setuju. Baginya ilmu netral tergantung kepada siapa yang menggunakannya. Baik al-Afghani, Ahmad Khan maupun Rahman tidak menjelaskan dan mungkin tidak menyadari bahwa Sains yang dipelajari umat Islam yang di abad 19 dan 20 adalah sains Barat. Sains yang lahir dari kepercayaan, kultur dan pandangan hidup manusia barat yang sekuler.
Sikap-sikap diatas bagi Sayyed Hossein Nasr sama dengan menganggap sains Barat sama dengan sains Islam (‘ilm) dengan alasan karena sains Barat adalah hasil terjemahan dari karya-karya Muslim dalam bidang sains. Namun, para pemuja sains barat itu, kata Nasr, tidak meyadari bahwa setelah diterjemahkan sains Islam itu juga dimoifikasi dan disekulerkan, sehingga sains Modern merupakan produk filsafat sains di era Revolusi Sains dan telah mengalami perubahan paradigm sains abad pertengahan dan periode Renaissance awal.
Selain itu, kebanyakan Muslim berpendirian bahwa sains itu bebas nilai (value free) jadi tidak ada bedanya antara sains Islam dan sains Barat. Pendirian ini, selain tidak menyadari adanya shift of paradigm, jelas-jelas menafikan kenyataan bahwa sains Barat, seperti juga sains lain, itu berdasarkan pada system nilai dan pandangan hidup (world view) tertentu yang akarnya dapat ditelusuri dari asumsi-asumsi para saintis terhadap hakekat realitas fisik, subyek yang memahami realitas itu dan hubungan keduanya. Untuk memperjelas perbedaan antara sains Barat dan dan Sains Islam Ziauddin Sardar menyatakan bahwa:
“Jika sains itu sendiri netral, maka sikap kita dalam mendekati sains itulah yang menjadikan sains itu sekuler atau Islami. Pendekatan Islam mengakui keterbatasan otak dan akal manusia, serta mengakui bahwa semua ilmu pengetahuan itu berasal dari Tuhan.”
Sementara Identitas Sains Barat, sebagaimana disinyalir Maryam Jameelah :
“Sains modern tidak dibimbing oleh atau kehilangan nilai moralnya, bahkan dikuasai oleh materialism dan arogansi. Seluruh cabang ilmu dan aplikasinya telah terkontaminasi oleh borok yang sama.”
Jadi sains Barat tidak netral dan tentu sudah berbeda dengan sains Islam.
Karena sains Barat tidak member tempat pada wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan, maka sains Barat dianggap netral. Di sini netral adalah bebas dari agama. Realitas Tuah tidak menjadi pertimbangan dalam sains Barat, karena Tuhan dianggap tidak riel. Namun sains tidak bebas dari idiologi, kultur, cara pandang dan kebudayaan manusia Barat. Dan ternyata dalam sains sendiri terdapat asumsi-asumsi, doktrin-dktrin yang tidak beda dengan agama. Pada akhirnya doktrin-doktrin sains yang dipercayai sebagai pasti, dipertentangkan dengan doktrin-doktrin agama yang dianggap tidak rasional dan tidak empiris. Yang terpojok dan dipojokkan adalah agama. Agama bahkan dipertanyakan dan dituntut untuk direformasi agar mengikuti asumsi-asumsi sains. Agama jadi termaginalkan dan kini ditinggalkan.
Secara lebih luas lagi, perbedaan sains Barat dan sains Islam dapat ditelusuri dari perbedaan pandangan hidup (worldview) keduanya. Perbedaan pandangan hidup berarti perbedaan konsep-konsep fundamental di dalamnya. Konsep Tuhan, ilmu, manusia, alam, etika, dan agama berbeda antara peradaban satu dengan yang lain. Dalam situasi seperti ini pertemuan keduanya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktanya memang sains Barat Modern itu ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup (worldview) Islam. Dalam Islam pengatahuan tentang realitas itu tidak hanya berdasarkan pada akal saja, tetapi juga wahyu, intuisi dan pengalaman. Tapi sains Barat akal diletakkan lebih tinggi dari wahyu dan bahkan meninggalkan wahyu. Akhirnya, sains tidak berhubungan harmonis dengan agama, bahkan meninggalkan agama.
Sejatinya, dengan memahami sains Barat dan sains Islam dengan konsep worldview, kita dapat dengan mudah mengenal identitas Sains Islam. Sebab dalam Islam cara pandang terhadap alam semesta, terhadap makna realitas, makna ilmu, tata nilai dan moralitas berbeda dengan cara pandang Barat. Menurut pandangan hidup Islam alam semesta ini merupakan Kitab Ciptaan (Created Book) Tuhan. Karena itu alam harus dipahami, dilihat, diamati dan diteliti dengan pandanga hidup Islam. Zaidi Ismail membahas bagaimana Islam memandang alam semesta yang merupakan obyk utama sains. Cara pandang Islam yang direfleksikan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview) itu dapat dilacak dari peristilahan yang digunakan di dalam Al-Qur’an dan Hadith. Istilah-istilah ilmu (‘ilm), Ilmuwan (al-‘alim), alam (al-‘alam) merupakan derivasi dari akar kata yang sama. Ini menunjukkan konsep integral antara subyek ilmu, obyek ilmu dan ilmu itu sendiri. Franz Rosenthal bahkan berani menyimpulkan bahwa ilmu adalah Islam. Alam sebagai sebagai ciptaan diistilahkan sebagai khalq memiliki akar yang sama dengan istilah moralitas manusia (Akhlaq). Ini menunjukkan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan itu mesti menggunakan etika dan moralitas. ( Baca: kosmos dalam pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim).
Kaitan-kaitan antara diri ilmuwan, wahyu dan alam semesta dapat dengan mudah dipahami karena ketiganya memiliki ayat-ayat. Ayat artinya tanda dan tanda menunjukkan sesuatu yang lain dari dirinya. Jadi korelasi antara- ayat-ayat itu pada akhirnya, bagi orang yang berfikir, akan menunjukkan adanya Tuhan adalah Penciptanya. Selain melalui ayat-ayat kaitan itu juga dapat dipahami melalui konsep fitrah. Kaitan manusia dan alam wahyu dalam ikatan konsep fitrah, namun karena akal manusia tidak mampu memahami alam ini dengan baik, maka Allah menurunkan petunjuk yang berupa fitrah munazzalah yaitu Al-Qur’an. Artinya ketiga fitrah itu, jika dipahami dengan sebaik-baiknya akan menghasilkan ilmu yang benar. Dari kesamaan ini saja sudah dapat dijelaskan betapa integralnya ajaran Islam dalam memahami alam semesta yang merupakan basis bagi pengembangan sains dan teknologi.
Konsep integral seperti yang digambarkan diatas berdampak terhadap orientasi sains masyarakat masyarakat Muslim dan itu adalah sebagian konsep dari worldview Islam yang dapat menjadi basis bagi lahirnya tradisi intelektual Islam. Professor Alparslan membuktikan secara teoritis bahwa Al-Qur’an dan hadith sebagai sebuah sumber ilmu pengetahuan Islam memiliki konsep keilmuan yang mendorong munculnya tradisi intelektual dan lahirnya sains serta ilmu pengetahuan Islam.
Secara kronologis menurut Alparslan perjalanan dari Al-Qur’an menjadi disiplin ilmu didahului oleh tiga hal: pertama, adalah worlview (dari para ilmuwan), yang merupakan lingkungan konseptual dimana aktivitas keilmuan dikembangkan. Kedua, adalah jaringan konsep keilmuan yang telah jelas bentuknya, yang disebut sebagai “struktur konsep keilmuan” (scientific conceptual scheme. Dan ketiga, adalah jaringan kosa kata teknis dan cara pandang yang dihasilkan jaringan konsep dalam suatu ilmu tertentu, yang disebut dengan “struktur konsep keilmuan khusus” (specific scientific conceptual scheme).
Pandangan hidup para ilmuan, yang dalam hal ini ilmuan Muslim, sudah barang tentu diperoleh dari apa yang diproyeksikan oleh Al-Qur’an yang dijelaskan oleh Nabi. Bagaimana Nabi mentransformasikan pandangan hidup Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat ditelusuri terutama sejak Nabi Hijrah ke Madinah. Di sana beliau memulai membangun institusi-institusi khusus yang kemudian menjadi model pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Al-suffah adalah “universitas” pertama yang dibangun sendiri oleh Nabi di Madinah. Mahasiswanya disebut ashab al-Suffah, atau ahl al-Suffah di dalamnya mereka membaca, menulis, belajar hukum-hukum Islam, menghapal dan mempraktekkan Al-Qur’an, belajar tajwid dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Semua diajarkan langsung di bawah pengawasan Nabi. Ubaidah ibn al-Samit misalnya, seperti disebutkan dalan Sunan Abu Dawud, ditunjukk Nabi menjadi guru di madrasah al-suffah untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Aktifitas ilmiyah dalam rangka memahami Al-Qur’an yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan di dalamnya itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan (scientific community). Komunitas ilmuwan atau ulama Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu. (Baca: Lahirnya Tradisi Keilmuan Dalam Islam).
Jika lahirnya sains Islam dalam tradisi intelektual Islam telah dibuktikan secara teoritis dan historis oleh Alparslan, maka Adi Setia lebih memperjelas bagi identitas sains Islam dengan membeberkan makna teknis sains Islam. Adi menjelaskan bahwa makna sains Islam dapat diidentifikasi, pertama-tama, melalui fakta-fakta sejarah yaitu adanya tokoh-tokoh saintis muslim yang berwibawa seperti Ibn Haytham, Ibn Syna, al-Khawarizmi, al-Biruni, Omar Khayyam dan lain sebagainya. Saintis Muslim adalah mereka yang memiliki aktifitas saintifik berdasarkan pandangan hidup Islam.
Makna kedua dari sains Islam, menurut Adi, adalah pandangan-pandangan saintis atau cendikiawan Muslim yang secara teoritis, konseptual berangkat dari pandangan hidup Islam. Pandangan-pandangan yang telah berbentuk karya-karya ini memiliki identitas tersendiri sehingga secara tidak langsung berbeda atau kritis terhadap sains atau ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan Islam. Makna ketiga, adalah upaya-upaya ilmuan Muslim untuk merumuskan kembali konsep-konsep sains Islam berdasarkan pandangan hidup Islam dengan tujuan menghasilkan definisi, metodologi, paradigm keilmuan Islam yang dapat menghasikan teknologi yang tepat guna dan tepat nilai serta bermanfaat bagi kesejahteraan umat lahir dan bathin.
Dengan paparan diatas identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan lagi, baik secara teoritis, historis ataupun prospektifnya. Kajian historis bagaimana sains dalam Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban Islam dan kehidupan umat Islam terbukti di Andalusia. Professor Wan Mohd Nor Wan Daud memaparkan bagaimana Andalusia merupakan kawasan paling beradab di dunia pada waktu itu, dimana sains, politik dan kehidupan social lainnya saling menopang dan saling bekerjasama dalam sebuah harmoni kehidupan ( Baca: Iklim Kehidupan Intelektual di Andalusi ).
Professor al-Hassan membahas bagaimana sains Islam Lahir dan mencapai puncaknya antara abad ke 13 dan ke 16. Pernyataan ini mungkin mengejutkan peneliti sejarah sains Islam, karena kebanyakan orientalis dan cendikiawan Muslim yang terpengaruh dengan mereka, umumnya berpendapat bahwa gara-gara serangan al-Ghazali pada abad ke 10 terhadap filsafat maka filsafat dan sains di dunia Islam mundur. Padahal justru pada abad ke 13 sains Islam merangkak menuju puncak kejayaannya. Observatorium Maragha didirikan justru setelah Bahgdad jatuh yaitu tahun 1259. Aktifitas astronomi terus berkembang dan bahkan ditandai oleh astronomer Muslim terkenal ‘Ali Ibn Ibrahim Ibn Shatir (1304-1375), yang karyanya memberikan inspirasi Copernicus untuk menemukan teori Heliosentris. Di Istanbul Observatorium terpentingnya dibawah kepemimpinan Muhammd Ibn Ma’ruf al-Rashid al-Dymashqi masih berdiri tegak hingga tahun 1577 dibawah kekuasaan Sultan Murad III. Disini al-Hassan menegaskan bahwa lahirnya sains Islam disebabkan oleh prinsip-prinsip Islam yang sumbernya adalah al-Qur’an dan hadith ( Baca: factor-faktor di balik kemunduran Ilmu Pengetahuan Islam setelah Abad ke 16 )
Kini persoalannya bukan apakah sains Islam itu ada atau pernah ada, tapi apa yang menyebabkan sains Islam di masa lalu itu mundur hingga kini. Al- Hassan menyimpulkan menjadi 4 faktor penyebabnya: pertama, karena factor ekologi dan alami; kedua, karena invasi-invasi eksternal; ketiga, adalah hancurnya perdagangan internasional dan berkembangnya kekuatan Barat, dan keempat, adalah factor intervensi dan kolonialisasi militer. Karena keempat hal inilah Muslim tidak lagi leading dalam bidang sains seperti pada abad ke 13 hingga abad ke 16. Meski demikian al-Hassan masih melihat kemungkinan-kemungkinan bangkitnya sains Islam di masa depan, mengingat sumber daya manusia dan juga sumber daya alam Negara-negara Muslim sangat potensial untuk itu.
Paparan Dr.Zaidi, Dr. Adi Setia, Prof. Alparslan, Prof. Wan Mohd Nor dan Prof. al-Hassan telah cukup memberikan gambaran bahwa identitas sains Islam itu adalah riel. Namun kebingungan intelektual, kesalahpahaman dan kerancuan konseptual para cendikiawan Muslim, kini wujud sains Islam di sangsikan. Dipermukaan mungkin Nampak benar karena hegemoni epistemology atau filsafat sains Barat telah menghilangkan identitas sains Islam. Untuk itu Seyyed Hossein Nasr memberikan rambu-rambu penting bagi perjalanan menuju terciptanya sains Islam yang murni untuk menghilangkan kesangsian tersebut. Rambu-rambu tersebut pertama, menghilangkan sikap “memuja” sains dan teknologi Barat. Kedua, perlu adanya pendalaman terhadap sumber-sumber Islam tradisional dari al-Qur’an, Hadith, ilmu-ilmu tradisional seperti filsafat, teologi, kosmologi dan lain-lain untuk dapat memformulasikan pandangan alam Islam, khususnya yang berkaitan dengan konsep Islam tentang alam semesta dan ilmu alam. Yakni semua, seperti yang dipaparkan Alparslan, harus dilakukan dalam frame work tradisi intelektual Islam. Ketiga, Muslim perlu mempelajari sains modern setinggi-tingginya, khususnya sains murni dengan begitu mereka akan dapat melakukan transformasi teori secara mendalam. Keempat, menghidupkan kembali sains Islam tradisional sebisa mungkin, khususnya dalam bidang kedokteran, farmasi, pertanian dan arsitektur. Bidang-bidang ini tidak hanya akan menciptakan rasa percaya diri terhadap kultur mereka sendiri, tapi juga akan memberikan konsekuensi social dan ekonomi yang mendalam. Sangat aneh jika terapi akupuntur, Ayurveda, Yoga, Homopathy, dan sebagainya sangat marak, sementara kedokteran Islam masih absen dari aktifitas pengobatan alternative. Kelima, untuk menciptakan sains Islam yang asli adalah dengan mengawinkan sains dan etika, bukan dalam diri saintis tapi dalam struktur teoritis dan fondasi filsafat sainsnya. Yang terakhir inilah yang absen dari sains Barat Modern. Dari uraian yang akan dipaparkan pada edisi ini akan dapat diketahui bagaimana sejatinya sejarah, makna dan sains Islam.
Kalau Emmanuel Kant menyatakan: “ I felt the need leave behind the books I read in order to believe in God” (Saya merasa perlu meninggalkan semua buku yang say abaca agar saya percaya kepada Tuhan), maka bagi Muslim tentu harus berkata:”saya perlu meninggalkan semua buku yang say abaca kalau buku itu tidak menambah keimanan saya kepada Tuhan.” Kalau Kant memilih logika either no, memilih ilmu atau Tuhan, Islam justru menyatukan ilmu dan Tuhan. Wallahu a’lam bissawab.
http://eddysyahrizal.blogspot.com/2008/10/makna-sains-islam.html
Islamisasi
Sekitar tahun 1992 Prof. Dr. Mukti Ali di sela-sela sebuah seminar di Gontor tiba-tiba bergumam, “Bagi saya Islamisasi ilmu pengetahuan itu omong kosong, apanya yang diislamkan, ilmu kan netral”. Prof. Dr. Baiquni yang waktu itu bersama beliau langsung menimpali “Pak Mukti tidak belajar sains, jadi tidak tahu dimana tidak Islamnya ilmu (sains) itu”. Pak Mukti dengan antusias, menyahut “Masa iya, bagaimana itu?” “Sains di Barat itu pada tahap asumsi dan presupposisinya tidak melibatkan Tuhan”, jawab Baiquni. “Jadi ia menjadi sekuler dan anti Tuhan”, Pak Mukti dengan kepolosan dan sikap akademiknya spontan menjawab lagi “Oh begitu”. Diskusi terus berlangsung dan soal ilmu serta Islamisasinya menjadi topik menarik.
Benarkah ilmu pengetahuan masa kini itu tidak mengakui adanya Tuhan? Pernyataan Baiquni sejalan dengan apa kata R. Hooykaas dalam Religion and T he Rise of Mo dern Science. Di Barat dunia dulunya digambarkan sebagai organisme, tapi sejak da tangnya Copernicus hingga Newton bergeser menjadi mekanisme. Pergeseran cara pandang ini pada abad ke 17 telah diprotes pengikut Aristotle. Menurut mereka pandangan terhadap dunia yang mekanistis itu telah menggiring manusia kepada atheisme (kekafiran).
Tapi pendukung mekanisme seperti Beeckman, Basso, Gasendi dan Boyle tidak terima. Dengan dalih konsep mukjizat, Boyle misalnya, beralasan, gambaran mekanistis bisa juga religius. Karena jika materi dan gerak yang menjadi esensi organisme tidak cukup untuk menerangkan fenomena alam, maka ini berarti memungkinkan adanya intervensi Tuhan melalui mukjizat. Artinya masih ada peran Tuhan disitu. Tuhan bisa sewaktu-waktu turun tangan mempengaruhi kausalitas alam semesta. Inilah occassionalisme yang menjadi doktrin Kristen hingga kini. Artinya Tuhan itu sangat transenden, berada jauh disana dan tidak terjangkau. Sementara alam berada disini dan tidak selalu dibawah pengawasan Tuhan.
Menggambarkan dunia sebagai mekanisme berarti melihatnya sebagai mesin. Bagi yang atheis mesin itu ada dengan sendirinya. Bagi yang theis mesin itu diciptakan. Tapi di Barat kekuasaan Pencipta itu direduksi dan akhirnya dihilangkan. Dunia dulu diciptakan namun kini bebas dari Penciptanya. Masih belum lama ketika Henri de Monantheuil seorang penulis Perancis, pada tahun 1599, menyatakan bahwa Tuhan adalah pencipta mesin dan ciptaan-Nya, yaitu dunia ini, berjalan bagaikan sebuah mesin. Tentu, ini membuat jamaah gereja berang. Tuhan gereja dianggap tidak ikut campur urusan dunia.
Faham mekanisme tentang dunia inilah yang menguasai alam pikiran Barat modern. Paradigma positivisme dan empirisisme dalam sains Barat menjadi subur. Otoritas memahami dunia kini berpindah dari gereja ke tangan saintis. Descartes, Gassendi, Pascal, Berkley, Boyle, Huygens dan Newton yang konon membela Tuhan, akhirnya merebut otoritas Tuhan. Jargon “Man is the standard of everything” dinyanyikan ulang. Benar-salah, baik-buruk tidak perlu campur tangan Tuhan. Wahyu dikalahkan akal atau diganti dengan akal.
Jika dulu gereja bisa marah pada Copernicus dan Galelio dan menghukum Bruno, kini hanya dapat menangisi ulah para saintis. Sementara para saintis seperti tidakmau repot dan mengambil posisi, “yang tidak bisa dibuktikan secara empiris bukan sains”. Teologi tidak bisa masuk dalam sains. Bicara fisika tidak perlu melibatkan metafisika. Argumentasi Francis Bacon sangat empiristis “Ilmu berkembang karena kesamaan-kesamaan, sedangkan Tuhan tidak ada kesamaannya”. Maka dari itu dalam teori idola-nya Bacon mewanti-wanti agar tidak melakukan induksi berdasarkan keyakinan.
Selain itu Bacon juga mengakui, kita ini bodoh tentang kehendak dan kekuasaan Tuhan yang tersurat dalam wahyu dan tersirat dalam ciptaan-Nya. Descartes berpikiran sama kehendak Tuhan tak dapat dipahami sehingga menghalangi jalan rasionalisme. Terus? “Kita tidak perlu takut melawan wahyu Tuhan dan melarang meneliti alam ini,” katanya. Sebab tidak ada larangan dalam wahyu. Tuhan memberi manusia hak menguasai alam. Oleh sebab itu kita bisa seperti Tuhan dan mengikuti petunjuk akal kita. Jadi, sebenarnya para saintis bukan tidak percaya Tuhan, tapi mereka kesulitan mengkaitkan teologi dengan epistemologi. Tragedinya, standar kebenaran dan metode penelitian pun akhirnya dimonopoli oleh empirisisme rasional.
Sebenarnya argumentasi Descartes dan Bacon masih belum berganjak dari pertanyaan Ibn Rusyd kepada al-Ghazzali. Na mun karena Ibn Rusyd terlanjut lebih populer dikalangan gereja dengan Averois me nya, pikiran al-Ghazzali tidak dianggap. E. Gillson dalam karyanya Revelation and Reason jelas se kali menyalahkan Ibn Rusyd. Sebab dengan teori kebenaran gandanya ia dianggap telah menabur benih sekularisme pada Descartes, Malebanche, David Hume dan pemikir Barat lainnya. Tuhan tetap disembah dan diyakini wujud-Nya, tapi tidak ditemukan hubung annya dengan pikiran, ilmu atau sains. Al-Attas segera sadar ilmu pengetahuan modern ternyata sarat nilai Barat.
Andalannya akal semata dengan cara pandang yang dualistis. Realitas hanya dibatasi pada Being yang temporal dan human being menjadi sentral. Ismail al-Faruqi dan Hossein Nasr mengamini. Al-Faruqi menyoal dualisme ilmu dan sistim pendidikan Muslim. Nasr mengkritisi mengapa jejak Tuhan dihapuskan dari hukum alam dan dari realitas alam. Ketiganya seakan menyesali seandainya yang menguasai dunia bukan Barat eksploitasi alam yang merusak itu tak pernah terjadi.
Ilmu yang seperti itu harus diislamkan, kata al-Attas. Namun mengislamkan ilmu itu tanpa syahadat dan jabat tangan sang qadi. Diislamkan artinya dibebaskan, diserah dirikan kepada Tuhan. Dibebaskan dari faham sekular yang ada dalam pikiran Muslim. Khususnya dalam penafsiran-penafsiran fakta-fakta dan formulasi teori-teori. Pada saat yang sama dimasuki konsep din, manusia ( insan), ilmu ( ilm dan ma’rifah), keadilan (‘ adl), konsep amal yang benar (amal sebagai adab) dsb.
Lalu apakah setelah itu akan lahir mobil Islam, mesin Islam, pesawat terbang Islam dsb? This is silly question, kata al-Attas suatu ketika. Yang diislamkan adalah ilmu dalam diri al-alim, dan bukan al-ma’lum (obyek ilmu), bukan pula teknologi. Yang diislamkan adalah paradigma saintifiknya dan sekaligus worldview-nya. Jika paradigma dan worldviewnya telah berserah diri pada Tuhan, maka sains dapat memproduk teknologi yang ramah lingkungan. Teknologi bisa serasi dengan maqasid syariah dan bukan dengan nafsu manusia. Dengan worldview Islam akan lahir ilmu yang sesuai dengan fitrah manusia, fitrah alam semesta dan fitrah yang diturunkan ( fitrah munazzalah) yakni al-Qur’an, meminjam istilah Ibn Taymiyyah. Dengan paradigma keilmuan Islam akan muncul ilmu yang memadukan ayat-ayat Qur’aniyah, kauniyyah, dan nafsiyyah. Hasilnya adalah ilmun-nafi’ yang menjadi nutrisi iman dan pemicu amal. Itulah misykat yang menyinari kegelapan akal dan kerancuan pemikiran.
http://www.republika.co.id/koran/155/36851/Islamisasi
SAINS
Makna Sains Islam
Memahami makna sains Islam tidak cukup dengan sebuah atau dua buah definisi. Ini tidak berarti bahwa sains Islam tidak definitive dan tidak jelas identitasnya. Sebab sebuah konsep ia memerlukan penjelasan-penjelasan dan pendekatan yang komprehensif. Ini dilatarbelakangi oleh suatu kondisi dimana sains Barat Modern dengan globalisasi, westernisasi dan berbagai macam pahamnya tersebar ke seluruh dunia, termasuk dunia Islam, sehingga Muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas sains Islam dan sains Barat. Inilah yang disebut oleh Professor al-Attas sebagai loss of adab yang juga berarti loss of identity. Bahkan antara umat Islam tidak saja kesulitan mengidentifikasi diri, tapi sinis, takut dan malu dengan identitas Islam dan bahkan dia mencemooh identitas itu. Tidak sedikit cendikiawan Muslim yang masih canggung dengan identitas atau sifat “Islam” pada ilmu sosiologi, ilmu fisika, ilmu psikologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dsb. Padahal ketika seseorang menyebut “sains modern” (modern sciences) atau sains Barat (Western Sciences), tanpa disadari, ia telah meletakkan suatu identitas sains tersebut, yaitu sains yang diproduksi oleh idiologi, kepercayaaan dan pandangan-pandangan yang berasal dari peradaban Barat. Demikian pula dengan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, politik, sosiologi dan lain sebagainya.
Dampak dan hilangnya identitas dapat diamati dari berbagai pernyataan pernyataan cendikiawan Muslim mengenai hal ini. Jamaluddin al-Afghani misalnya menyatakan:
“Barangsiapa yang melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya. Agama Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan ilmu pengetahuan, dan tidak ada ketidaksesuaian antara sains dan ilmu pentetahuan dengan dasar-dasar agama.”
Sikap al-Afgani sejalan dengan sikap Sir Syed Ahmad Khan. Bagi Khan Karya Tuhan tidak akan bertentangan dengan kata atau firman-Nya. Jadi tidak mungkin sains bertentangan dengan agama. Dengan nada yang agak berbeda Fazlur Rahman juga setuju. Baginya ilmu netral tergantung kepada siapa yang menggunakannya. Baik al-Afghani, Ahmad Khan maupun Rahman tidak menjelaskan dan mungkin tidak menyadari bahwa Sains yang dipelajari umat Islam yang di abad 19 dan 20 adalah sains Barat. Sains yang lahir dari kepercayaan, kultur dan pandangan hidup manusia barat yang sekuler.
Sikap-sikap diatas bagi Sayyed Hossein Nasr sama dengan menganggap sains Barat sama dengan sains Islam (‘ilm) dengan alasan karena sains Barat adalah hasil terjemahan dari karya-karya Muslim dalam bidang sains. Namun, para pemuja sains barat itu, kata Nasr, tidak meyadari bahwa setelah diterjemahkan sains Islam itu juga dimoifikasi dan disekulerkan, sehingga sains Modern merupakan produk filsafat sains di era Revolusi Sains dan telah mengalami perubahan paradigm sains abad pertengahan dan periode Renaissance awal.
Selain itu, kebanyakan Muslim berpendirian bahwa sains itu bebas nilai (value free) jadi tidak ada bedanya antara sains Islam dan sains Barat. Pendirian ini, selain tidak menyadari adanya shift of paradigm, jelas-jelas menafikan kenyataan bahwa sains Barat, seperti juga sains lain, itu berdasarkan pada system nilai dan pandangan hidup (world view) tertentu yang akarnya dapat ditelusuri dari asumsi-asumsi para saintis terhadap hakekat realitas fisik, subyek yang memahami realitas itu dan hubungan keduanya. Untuk memperjelas perbedaan antara sains Barat dan dan Sains Islam Ziauddin Sardar menyatakan bahwa:
“Jika sains itu sendiri netral, maka sikap kita dalam mendekati sains itulah yang menjadikan sains itu sekuler atau Islami. Pendekatan Islam mengakui keterbatasan otak dan akal manusia, serta mengakui bahwa semua ilmu pengetahuan itu berasal dari Tuhan.”
Sementara Identitas Sains Barat, sebagaimana disinyalir Maryam Jameelah :
“Sains modern tidak dibimbing oleh atau kehilangan nilai moralnya, bahkan dikuasai oleh materialism dan arogansi. Seluruh cabang ilmu dan aplikasinya telah terkontaminasi oleh borok yang sama.”
Jadi sains Barat tidak netral dan tentu sudah berbeda dengan sains Islam.
Karena sains Barat tidak member tempat pada wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan, maka sains Barat dianggap netral. Di sini netral adalah bebas dari agama. Realitas Tuah tidak menjadi pertimbangan dalam sains Barat, karena Tuhan dianggap tidak riel. Namun sains tidak bebas dari idiologi, kultur, cara pandang dan kebudayaan manusia Barat. Dan ternyata dalam sains sendiri terdapat asumsi-asumsi, doktrin-dktrin yang tidak beda dengan agama. Pada akhirnya doktrin-doktrin sains yang dipercayai sebagai pasti, dipertentangkan dengan doktrin-doktrin agama yang dianggap tidak rasional dan tidak empiris. Yang terpojok dan dipojokkan adalah agama. Agama bahkan dipertanyakan dan dituntut untuk direformasi agar mengikuti asumsi-asumsi sains. Agama jadi termaginalkan dan kini ditinggalkan.
Secara lebih luas lagi, perbedaan sains Barat dan sains Islam dapat ditelusuri dari perbedaan pandangan hidup (worldview) keduanya. Perbedaan pandangan hidup berarti perbedaan konsep-konsep fundamental di dalamnya. Konsep Tuhan, ilmu, manusia, alam, etika, dan agama berbeda antara peradaban satu dengan yang lain. Dalam situasi seperti ini pertemuan keduanya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktanya memang sains Barat Modern itu ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup (worldview) Islam. Dalam Islam pengatahuan tentang realitas itu tidak hanya berdasarkan pada akal saja, tetapi juga wahyu, intuisi dan pengalaman. Tapi sains Barat akal diletakkan lebih tinggi dari wahyu dan bahkan meninggalkan wahyu. Akhirnya, sains tidak berhubungan harmonis dengan agama, bahkan meninggalkan agama.
Sejatinya, dengan memahami sains Barat dan sains Islam dengan konsep worldview, kita dapat dengan mudah mengenal identitas Sains Islam. Sebab dalam Islam cara pandang terhadap alam semesta, terhadap makna realitas, makna ilmu, tata nilai dan moralitas berbeda dengan cara pandang Barat. Menurut pandangan hidup Islam alam semesta ini merupakan Kitab Ciptaan (Created Book) Tuhan. Karena itu alam harus dipahami, dilihat, diamati dan diteliti dengan pandanga hidup Islam. Zaidi Ismail membahas bagaimana Islam memandang alam semesta yang merupakan obyk utama sains. Cara pandang Islam yang direfleksikan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview) itu dapat dilacak dari peristilahan yang digunakan di dalam Al-Qur’an dan Hadith. Istilah-istilah ilmu (‘ilm), Ilmuwan (al-‘alim), alam (al-‘alam) merupakan derivasi dari akar kata yang sama. Ini menunjukkan konsep integral antara subyek ilmu, obyek ilmu dan ilmu itu sendiri. Franz Rosenthal bahkan berani menyimpulkan bahwa ilmu adalah Islam. Alam sebagai sebagai ciptaan diistilahkan sebagai khalq memiliki akar yang sama dengan istilah moralitas manusia (Akhlaq). Ini menunjukkan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan itu mesti menggunakan etika dan moralitas. ( Baca: kosmos dalam pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim).
Kaitan-kaitan antara diri ilmuwan, wahyu dan alam semesta dapat dengan mudah dipahami karena ketiganya memiliki ayat-ayat. Ayat artinya tanda dan tanda menunjukkan sesuatu yang lain dari dirinya. Jadi korelasi antara- ayat-ayat itu pada akhirnya, bagi orang yang berfikir, akan menunjukkan adanya Tuhan adalah Penciptanya. Selain melalui ayat-ayat kaitan itu juga dapat dipahami melalui konsep fitrah. Kaitan manusia dan alam wahyu dalam ikatan konsep fitrah, namun karena akal manusia tidak mampu memahami alam ini dengan baik, maka Allah menurunkan petunjuk yang berupa fitrah munazzalah yaitu Al-Qur’an. Artinya ketiga fitrah itu, jika dipahami dengan sebaik-baiknya akan menghasilkan ilmu yang benar. Dari kesamaan ini saja sudah dapat dijelaskan betapa integralnya ajaran Islam dalam memahami alam semesta yang merupakan basis bagi pengembangan sains dan teknologi.
Konsep integral seperti yang digambarkan diatas berdampak terhadap orientasi sains masyarakat masyarakat Muslim dan itu adalah sebagian konsep dari worldview Islam yang dapat menjadi basis bagi lahirnya tradisi intelektual Islam. Professor Alparslan membuktikan secara teoritis bahwa Al-Qur’an dan hadith sebagai sebuah sumber ilmu pengetahuan Islam memiliki konsep keilmuan yang mendorong munculnya tradisi intelektual dan lahirnya sains serta ilmu pengetahuan Islam.
Secara kronologis menurut Alparslan perjalanan dari Al-Qur’an menjadi disiplin ilmu didahului oleh tiga hal: pertama, adalah worlview (dari para ilmuwan), yang merupakan lingkungan konseptual dimana aktivitas keilmuan dikembangkan. Kedua, adalah jaringan konsep keilmuan yang telah jelas bentuknya, yang disebut sebagai “struktur konsep keilmuan” (scientific conceptual scheme. Dan ketiga, adalah jaringan kosa kata teknis dan cara pandang yang dihasilkan jaringan konsep dalam suatu ilmu tertentu, yang disebut dengan “struktur konsep keilmuan khusus” (specific scientific conceptual scheme).
Pandangan hidup para ilmuan, yang dalam hal ini ilmuan Muslim, sudah barang tentu diperoleh dari apa yang diproyeksikan oleh Al-Qur’an yang dijelaskan oleh Nabi. Bagaimana Nabi mentransformasikan pandangan hidup Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat ditelusuri terutama sejak Nabi Hijrah ke Madinah. Di sana beliau memulai membangun institusi-institusi khusus yang kemudian menjadi model pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Al-suffah adalah “universitas” pertama yang dibangun sendiri oleh Nabi di Madinah. Mahasiswanya disebut ashab al-Suffah, atau ahl al-Suffah di dalamnya mereka membaca, menulis, belajar hukum-hukum Islam, menghapal dan mempraktekkan Al-Qur’an, belajar tajwid dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Semua diajarkan langsung di bawah pengawasan Nabi. Ubaidah ibn al-Samit misalnya, seperti disebutkan dalan Sunan Abu Dawud, ditunjukk Nabi menjadi guru di madrasah al-suffah untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Aktifitas ilmiyah dalam rangka memahami Al-Qur’an yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan di dalamnya itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan (scientific community). Komunitas ilmuwan atau ulama Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu. (Baca: Lahirnya Tradisi Keilmuan Dalam Islam).
Jika lahirnya sains Islam dalam tradisi intelektual Islam telah dibuktikan secara teoritis dan historis oleh Alparslan, maka Adi Setia lebih memperjelas bagi identitas sains Islam dengan membeberkan makna teknis sains Islam. Adi menjelaskan bahwa makna sains Islam dapat diidentifikasi, pertama-tama, melalui fakta-fakta sejarah yaitu adanya tokoh-tokoh saintis muslim yang berwibawa seperti Ibn Haytham, Ibn Syna, al-Khawarizmi, al-Biruni, Omar Khayyam dan lain sebagainya. Saintis Muslim adalah mereka yang memiliki aktifitas saintifik berdasarkan pandangan hidup Islam.
Makna kedua dari sains Islam, menurut Adi, adalah pandangan-pandangan saintis atau cendikiawan Muslim yang secara teoritis, konseptual berangkat dari pandangan hidup Islam. Pandangan-pandangan yang telah berbentuk karya-karya ini memiliki identitas tersendiri sehingga secara tidak langsung berbeda atau kritis terhadap sains atau ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan Islam. Makna ketiga, adalah upaya-upaya ilmuan Muslim untuk merumuskan kembali konsep-konsep sains Islam berdasarkan pandangan hidup Islam dengan tujuan menghasilkan definisi, metodologi, paradigm keilmuan Islam yang dapat menghasikan teknologi yang tepat guna dan tepat nilai serta bermanfaat bagi kesejahteraan umat lahir dan bathin.
Dengan paparan diatas identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan lagi, baik secara teoritis, historis ataupun prospektifnya. Kajian historis bagaimana sains dalam Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban Islam dan kehidupan umat Islam terbukti di Andalusia. Professor Wan Mohd Nor Wan Daud memaparkan bagaimana Andalusia merupakan kawasan paling beradab di dunia pada waktu itu, dimana sains, politik dan kehidupan social lainnya saling menopang dan saling bekerjasama dalam sebuah harmoni kehidupan ( Baca: Iklim Kehidupan Intelektual di Andalusi ).
Professor al-Hassan membahas bagaimana sains Islam Lahir dan mencapai puncaknya antara abad ke 13 dan ke 16. Pernyataan ini mungkin mengejutkan peneliti sejarah sains Islam, karena kebanyakan orientalis dan cendikiawan Muslim yang terpengaruh dengan mereka, umumnya berpendapat bahwa gara-gara serangan al-Ghazali pada abad ke 10 terhadap filsafat maka filsafat dan sains di dunia Islam mundur. Padahal justru pada abad ke 13 sains Islam merangkak menuju puncak kejayaannya. Observatorium Maragha didirikan justru setelah Bahgdad jatuh yaitu tahun 1259. Aktifitas astronomi terus berkembang dan bahkan ditandai oleh astronomer Muslim terkenal ‘Ali Ibn Ibrahim Ibn Shatir (1304-1375), yang karyanya memberikan inspirasi Copernicus untuk menemukan teori Heliosentris. Di Istanbul Observatorium terpentingnya dibawah kepemimpinan Muhammd Ibn Ma’ruf al-Rashid al-Dymashqi masih berdiri tegak hingga tahun 1577 dibawah kekuasaan Sultan Murad III. Disini al-Hassan menegaskan bahwa lahirnya sains Islam disebabkan oleh prinsip-prinsip Islam yang sumbernya adalah al-Qur’an dan hadith ( Baca: factor-faktor di balik kemunduran Ilmu Pengetahuan Islam setelah Abad ke 16 )
Kini persoalannya bukan apakah sains Islam itu ada atau pernah ada, tapi apa yang menyebabkan sains Islam di masa lalu itu mundur hingga kini. Al- Hassan menyimpulkan menjadi 4 faktor penyebabnya: pertama, karena factor ekologi dan alami; kedua, karena invasi-invasi eksternal; ketiga, adalah hancurnya perdagangan internasional dan berkembangnya kekuatan Barat, dan keempat, adalah factor intervensi dan kolonialisasi militer. Karena keempat hal inilah Muslim tidak lagi leading dalam bidang sains seperti pada abad ke 13 hingga abad ke 16. Meski demikian al-Hassan masih melihat kemungkinan-kemungkinan bangkitnya sains Islam di masa depan, mengingat sumber daya manusia dan juga sumber daya alam Negara-negara Muslim sangat potensial untuk itu.
Paparan Dr.Zaidi, Dr. Adi Setia, Prof. Alparslan, Prof. Wan Mohd Nor dan Prof. al-Hassan telah cukup memberikan gambaran bahwa identitas sains Islam itu adalah riel. Namun kebingungan intelektual, kesalahpahaman dan kerancuan konseptual para cendikiawan Muslim, kini wujud sains Islam di sangsikan. Dipermukaan mungkin Nampak benar karena hegemoni epistemology atau filsafat sains Barat telah menghilangkan identitas sains Islam. Untuk itu Seyyed Hossein Nasr memberikan rambu-rambu penting bagi perjalanan menuju terciptanya sains Islam yang murni untuk menghilangkan kesangsian tersebut. Rambu-rambu tersebut pertama, menghilangkan sikap “memuja” sains dan teknologi Barat. Kedua, perlu adanya pendalaman terhadap sumber-sumber Islam tradisional dari al-Qur’an, Hadith, ilmu-ilmu tradisional seperti filsafat, teologi, kosmologi dan lain-lain untuk dapat memformulasikan pandangan alam Islam, khususnya yang berkaitan dengan konsep Islam tentang alam semesta dan ilmu alam. Yakni semua, seperti yang dipaparkan Alparslan, harus dilakukan dalam frame work tradisi intelektual Islam. Ketiga, Muslim perlu mempelajari sains modern setinggi-tingginya, khususnya sains murni dengan begitu mereka akan dapat melakukan transformasi teori secara mendalam. Keempat, menghidupkan kembali sains Islam tradisional sebisa mungkin, khususnya dalam bidang kedokteran, farmasi, pertanian dan arsitektur. Bidang-bidang ini tidak hanya akan menciptakan rasa percaya diri terhadap kultur mereka sendiri, tapi juga akan memberikan konsekuensi social dan ekonomi yang mendalam. Sangat aneh jika terapi akupuntur, Ayurveda, Yoga, Homopathy, dan sebagainya sangat marak, sementara kedokteran Islam masih absen dari aktifitas pengobatan alternative. Kelima, untuk menciptakan sains Islam yang asli adalah dengan mengawinkan sains dan etika, bukan dalam diri saintis tapi dalam struktur teoritis dan fondasi filsafat sainsnya. Yang terakhir inilah yang absen dari sains Barat Modern. Dari uraian yang akan dipaparkan pada edisi ini akan dapat diketahui bagaimana sejatinya sejarah, makna dan sains Islam.
Kalau Emmanuel Kant menyatakan: “ I felt the need leave behind the books I read in order to believe in God” (Saya merasa perlu meninggalkan semua buku yang say abaca agar saya percaya kepada Tuhan), maka bagi Muslim tentu harus berkata:”saya perlu meninggalkan semua buku yang say abaca kalau buku itu tidak menambah keimanan saya kepada Tuhan.” Kalau Kant memilih logika either no, memilih ilmu atau Tuhan, Islam justru menyatukan ilmu dan Tuhan. Wallahu a’lam bissawab.
http://eddysyahrizal.blogspot.com/2008/10/makna-sains-islam.html
Islamisasi
Sekitar tahun 1992 Prof. Dr. Mukti Ali di sela-sela sebuah seminar di Gontor tiba-tiba bergumam, “Bagi saya Islamisasi ilmu pengetahuan itu omong kosong, apanya yang diislamkan, ilmu kan netral”. Prof. Dr. Baiquni yang waktu itu bersama beliau langsung menimpali “Pak Mukti tidak belajar sains, jadi tidak tahu dimana tidak Islamnya ilmu (sains) itu”. Pak Mukti dengan antusias, menyahut “Masa iya, bagaimana itu?” “Sains di Barat itu pada tahap asumsi dan presupposisinya tidak melibatkan Tuhan”, jawab Baiquni. “Jadi ia menjadi sekuler dan anti Tuhan”, Pak Mukti dengan kepolosan dan sikap akademiknya spontan menjawab lagi “Oh begitu”. Diskusi terus berlangsung dan soal ilmu serta Islamisasinya menjadi topik menarik.
Benarkah ilmu pengetahuan masa kini itu tidak mengakui adanya Tuhan? Pernyataan Baiquni sejalan dengan apa kata R. Hooykaas dalam Religion and T he Rise of Mo dern Science. Di Barat dunia dulunya digambarkan sebagai organisme, tapi sejak da tangnya Copernicus hingga Newton bergeser menjadi mekanisme. Pergeseran cara pandang ini pada abad ke 17 telah diprotes pengikut Aristotle. Menurut mereka pandangan terhadap dunia yang mekanistis itu telah menggiring manusia kepada atheisme (kekafiran).
Tapi pendukung mekanisme seperti Beeckman, Basso, Gasendi dan Boyle tidak terima. Dengan dalih konsep mukjizat, Boyle misalnya, beralasan, gambaran mekanistis bisa juga religius. Karena jika materi dan gerak yang menjadi esensi organisme tidak cukup untuk menerangkan fenomena alam, maka ini berarti memungkinkan adanya intervensi Tuhan melalui mukjizat. Artinya masih ada peran Tuhan disitu. Tuhan bisa sewaktu-waktu turun tangan mempengaruhi kausalitas alam semesta. Inilah occassionalisme yang menjadi doktrin Kristen hingga kini. Artinya Tuhan itu sangat transenden, berada jauh disana dan tidak terjangkau. Sementara alam berada disini dan tidak selalu dibawah pengawasan Tuhan.
Menggambarkan dunia sebagai mekanisme berarti melihatnya sebagai mesin. Bagi yang atheis mesin itu ada dengan sendirinya. Bagi yang theis mesin itu diciptakan. Tapi di Barat kekuasaan Pencipta itu direduksi dan akhirnya dihilangkan. Dunia dulu diciptakan namun kini bebas dari Penciptanya. Masih belum lama ketika Henri de Monantheuil seorang penulis Perancis, pada tahun 1599, menyatakan bahwa Tuhan adalah pencipta mesin dan ciptaan-Nya, yaitu dunia ini, berjalan bagaikan sebuah mesin. Tentu, ini membuat jamaah gereja berang. Tuhan gereja dianggap tidak ikut campur urusan dunia.
Faham mekanisme tentang dunia inilah yang menguasai alam pikiran Barat modern. Paradigma positivisme dan empirisisme dalam sains Barat menjadi subur. Otoritas memahami dunia kini berpindah dari gereja ke tangan saintis. Descartes, Gassendi, Pascal, Berkley, Boyle, Huygens dan Newton yang konon membela Tuhan, akhirnya merebut otoritas Tuhan. Jargon “Man is the standard of everything” dinyanyikan ulang. Benar-salah, baik-buruk tidak perlu campur tangan Tuhan. Wahyu dikalahkan akal atau diganti dengan akal.
Jika dulu gereja bisa marah pada Copernicus dan Galelio dan menghukum Bruno, kini hanya dapat menangisi ulah para saintis. Sementara para saintis seperti tidakmau repot dan mengambil posisi, “yang tidak bisa dibuktikan secara empiris bukan sains”. Teologi tidak bisa masuk dalam sains. Bicara fisika tidak perlu melibatkan metafisika. Argumentasi Francis Bacon sangat empiristis “Ilmu berkembang karena kesamaan-kesamaan, sedangkan Tuhan tidak ada kesamaannya”. Maka dari itu dalam teori idola-nya Bacon mewanti-wanti agar tidak melakukan induksi berdasarkan keyakinan.
Selain itu Bacon juga mengakui, kita ini bodoh tentang kehendak dan kekuasaan Tuhan yang tersurat dalam wahyu dan tersirat dalam ciptaan-Nya. Descartes berpikiran sama kehendak Tuhan tak dapat dipahami sehingga menghalangi jalan rasionalisme. Terus? “Kita tidak perlu takut melawan wahyu Tuhan dan melarang meneliti alam ini,” katanya. Sebab tidak ada larangan dalam wahyu. Tuhan memberi manusia hak menguasai alam. Oleh sebab itu kita bisa seperti Tuhan dan mengikuti petunjuk akal kita. Jadi, sebenarnya para saintis bukan tidak percaya Tuhan, tapi mereka kesulitan mengkaitkan teologi dengan epistemologi. Tragedinya, standar kebenaran dan metode penelitian pun akhirnya dimonopoli oleh empirisisme rasional.
Sebenarnya argumentasi Descartes dan Bacon masih belum berganjak dari pertanyaan Ibn Rusyd kepada al-Ghazzali. Na mun karena Ibn Rusyd terlanjut lebih populer dikalangan gereja dengan Averois me nya, pikiran al-Ghazzali tidak dianggap. E. Gillson dalam karyanya Revelation and Reason jelas se kali menyalahkan Ibn Rusyd. Sebab dengan teori kebenaran gandanya ia dianggap telah menabur benih sekularisme pada Descartes, Malebanche, David Hume dan pemikir Barat lainnya. Tuhan tetap disembah dan diyakini wujud-Nya, tapi tidak ditemukan hubung annya dengan pikiran, ilmu atau sains. Al-Attas segera sadar ilmu pengetahuan modern ternyata sarat nilai Barat.
Andalannya akal semata dengan cara pandang yang dualistis. Realitas hanya dibatasi pada Being yang temporal dan human being menjadi sentral. Ismail al-Faruqi dan Hossein Nasr mengamini. Al-Faruqi menyoal dualisme ilmu dan sistim pendidikan Muslim. Nasr mengkritisi mengapa jejak Tuhan dihapuskan dari hukum alam dan dari realitas alam. Ketiganya seakan menyesali seandainya yang menguasai dunia bukan Barat eksploitasi alam yang merusak itu tak pernah terjadi.
Ilmu yang seperti itu harus diislamkan, kata al-Attas. Namun mengislamkan ilmu itu tanpa syahadat dan jabat tangan sang qadi. Diislamkan artinya dibebaskan, diserah dirikan kepada Tuhan. Dibebaskan dari faham sekular yang ada dalam pikiran Muslim. Khususnya dalam penafsiran-penafsiran fakta-fakta dan formulasi teori-teori. Pada saat yang sama dimasuki konsep din, manusia ( insan), ilmu ( ilm dan ma’rifah), keadilan (‘ adl), konsep amal yang benar (amal sebagai adab) dsb.
Lalu apakah setelah itu akan lahir mobil Islam, mesin Islam, pesawat terbang Islam dsb? This is silly question, kata al-Attas suatu ketika. Yang diislamkan adalah ilmu dalam diri al-alim, dan bukan al-ma’lum (obyek ilmu), bukan pula teknologi. Yang diislamkan adalah paradigma saintifiknya dan sekaligus worldview-nya. Jika paradigma dan worldviewnya telah berserah diri pada Tuhan, maka sains dapat memproduk teknologi yang ramah lingkungan. Teknologi bisa serasi dengan maqasid syariah dan bukan dengan nafsu manusia. Dengan worldview Islam akan lahir ilmu yang sesuai dengan fitrah manusia, fitrah alam semesta dan fitrah yang diturunkan ( fitrah munazzalah) yakni al-Qur’an, meminjam istilah Ibn Taymiyyah. Dengan paradigma keilmuan Islam akan muncul ilmu yang memadukan ayat-ayat Qur’aniyah, kauniyyah, dan nafsiyyah. Hasilnya adalah ilmun-nafi’ yang menjadi nutrisi iman dan pemicu amal. Itulah misykat yang menyinari kegelapan akal dan kerancuan pemikiran.
http://www.republika.co.id/koran/155/36851/Islamisasi
Memahami makna sains Islam tidak cukup dengan sebuah atau dua buah definisi. Ini tidak berarti bahwa sains Islam tidak definitive dan tidak jelas identitasnya. Sebab sebuah konsep ia memerlukan penjelasan-penjelasan dan pendekatan yang komprehensif. Ini dilatarbelakangi oleh suatu kondisi dimana sains Barat Modern dengan globalisasi, westernisasi dan berbagai macam pahamnya tersebar ke seluruh dunia, termasuk dunia Islam, sehingga Muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas sains Islam dan sains Barat. Inilah yang disebut oleh Professor al-Attas sebagai loss of adab yang juga berarti loss of identity. Bahkan antara umat Islam tidak saja kesulitan mengidentifikasi diri, tapi sinis, takut dan malu dengan identitas Islam dan bahkan dia mencemooh identitas itu. Tidak sedikit cendikiawan Muslim yang masih canggung dengan identitas atau sifat “Islam” pada ilmu sosiologi, ilmu fisika, ilmu psikologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dsb. Padahal ketika seseorang menyebut “sains modern” (modern sciences) atau sains Barat (Western Sciences), tanpa disadari, ia telah meletakkan suatu identitas sains tersebut, yaitu sains yang diproduksi oleh idiologi, kepercayaaan dan pandangan-pandangan yang berasal dari peradaban Barat. Demikian pula dengan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, politik, sosiologi dan lain sebagainya.
Dampak dan hilangnya identitas dapat diamati dari berbagai pernyataan pernyataan cendikiawan Muslim mengenai hal ini. Jamaluddin al-Afghani misalnya menyatakan:
“Barangsiapa yang melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya. Agama Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan ilmu pengetahuan, dan tidak ada ketidaksesuaian antara sains dan ilmu pentetahuan dengan dasar-dasar agama.”
Sikap al-Afgani sejalan dengan sikap Sir Syed Ahmad Khan. Bagi Khan Karya Tuhan tidak akan bertentangan dengan kata atau firman-Nya. Jadi tidak mungkin sains bertentangan dengan agama. Dengan nada yang agak berbeda Fazlur Rahman juga setuju. Baginya ilmu netral tergantung kepada siapa yang menggunakannya. Baik al-Afghani, Ahmad Khan maupun Rahman tidak menjelaskan dan mungkin tidak menyadari bahwa Sains yang dipelajari umat Islam yang di abad 19 dan 20 adalah sains Barat. Sains yang lahir dari kepercayaan, kultur dan pandangan hidup manusia barat yang sekuler.
Sikap-sikap diatas bagi Sayyed Hossein Nasr sama dengan menganggap sains Barat sama dengan sains Islam (‘ilm) dengan alasan karena sains Barat adalah hasil terjemahan dari karya-karya Muslim dalam bidang sains. Namun, para pemuja sains barat itu, kata Nasr, tidak meyadari bahwa setelah diterjemahkan sains Islam itu juga dimoifikasi dan disekulerkan, sehingga sains Modern merupakan produk filsafat sains di era Revolusi Sains dan telah mengalami perubahan paradigm sains abad pertengahan dan periode Renaissance awal.
Selain itu, kebanyakan Muslim berpendirian bahwa sains itu bebas nilai (value free) jadi tidak ada bedanya antara sains Islam dan sains Barat. Pendirian ini, selain tidak menyadari adanya shift of paradigm, jelas-jelas menafikan kenyataan bahwa sains Barat, seperti juga sains lain, itu berdasarkan pada system nilai dan pandangan hidup (world view) tertentu yang akarnya dapat ditelusuri dari asumsi-asumsi para saintis terhadap hakekat realitas fisik, subyek yang memahami realitas itu dan hubungan keduanya. Untuk memperjelas perbedaan antara sains Barat dan dan Sains Islam Ziauddin Sardar menyatakan bahwa:
“Jika sains itu sendiri netral, maka sikap kita dalam mendekati sains itulah yang menjadikan sains itu sekuler atau Islami. Pendekatan Islam mengakui keterbatasan otak dan akal manusia, serta mengakui bahwa semua ilmu pengetahuan itu berasal dari Tuhan.”
Sementara Identitas Sains Barat, sebagaimana disinyalir Maryam Jameelah :
“Sains modern tidak dibimbing oleh atau kehilangan nilai moralnya, bahkan dikuasai oleh materialism dan arogansi. Seluruh cabang ilmu dan aplikasinya telah terkontaminasi oleh borok yang sama.”
Jadi sains Barat tidak netral dan tentu sudah berbeda dengan sains Islam.
Karena sains Barat tidak member tempat pada wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan, maka sains Barat dianggap netral. Di sini netral adalah bebas dari agama. Realitas Tuah tidak menjadi pertimbangan dalam sains Barat, karena Tuhan dianggap tidak riel. Namun sains tidak bebas dari idiologi, kultur, cara pandang dan kebudayaan manusia Barat. Dan ternyata dalam sains sendiri terdapat asumsi-asumsi, doktrin-dktrin yang tidak beda dengan agama. Pada akhirnya doktrin-doktrin sains yang dipercayai sebagai pasti, dipertentangkan dengan doktrin-doktrin agama yang dianggap tidak rasional dan tidak empiris. Yang terpojok dan dipojokkan adalah agama. Agama bahkan dipertanyakan dan dituntut untuk direformasi agar mengikuti asumsi-asumsi sains. Agama jadi termaginalkan dan kini ditinggalkan.
Secara lebih luas lagi, perbedaan sains Barat dan sains Islam dapat ditelusuri dari perbedaan pandangan hidup (worldview) keduanya. Perbedaan pandangan hidup berarti perbedaan konsep-konsep fundamental di dalamnya. Konsep Tuhan, ilmu, manusia, alam, etika, dan agama berbeda antara peradaban satu dengan yang lain. Dalam situasi seperti ini pertemuan keduanya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktanya memang sains Barat Modern itu ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup (worldview) Islam. Dalam Islam pengatahuan tentang realitas itu tidak hanya berdasarkan pada akal saja, tetapi juga wahyu, intuisi dan pengalaman. Tapi sains Barat akal diletakkan lebih tinggi dari wahyu dan bahkan meninggalkan wahyu. Akhirnya, sains tidak berhubungan harmonis dengan agama, bahkan meninggalkan agama.
Sejatinya, dengan memahami sains Barat dan sains Islam dengan konsep worldview, kita dapat dengan mudah mengenal identitas Sains Islam. Sebab dalam Islam cara pandang terhadap alam semesta, terhadap makna realitas, makna ilmu, tata nilai dan moralitas berbeda dengan cara pandang Barat. Menurut pandangan hidup Islam alam semesta ini merupakan Kitab Ciptaan (Created Book) Tuhan. Karena itu alam harus dipahami, dilihat, diamati dan diteliti dengan pandanga hidup Islam. Zaidi Ismail membahas bagaimana Islam memandang alam semesta yang merupakan obyk utama sains. Cara pandang Islam yang direfleksikan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview) itu dapat dilacak dari peristilahan yang digunakan di dalam Al-Qur’an dan Hadith. Istilah-istilah ilmu (‘ilm), Ilmuwan (al-‘alim), alam (al-‘alam) merupakan derivasi dari akar kata yang sama. Ini menunjukkan konsep integral antara subyek ilmu, obyek ilmu dan ilmu itu sendiri. Franz Rosenthal bahkan berani menyimpulkan bahwa ilmu adalah Islam. Alam sebagai sebagai ciptaan diistilahkan sebagai khalq memiliki akar yang sama dengan istilah moralitas manusia (Akhlaq). Ini menunjukkan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan itu mesti menggunakan etika dan moralitas. ( Baca: kosmos dalam pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim).
Kaitan-kaitan antara diri ilmuwan, wahyu dan alam semesta dapat dengan mudah dipahami karena ketiganya memiliki ayat-ayat. Ayat artinya tanda dan tanda menunjukkan sesuatu yang lain dari dirinya. Jadi korelasi antara- ayat-ayat itu pada akhirnya, bagi orang yang berfikir, akan menunjukkan adanya Tuhan adalah Penciptanya. Selain melalui ayat-ayat kaitan itu juga dapat dipahami melalui konsep fitrah. Kaitan manusia dan alam wahyu dalam ikatan konsep fitrah, namun karena akal manusia tidak mampu memahami alam ini dengan baik, maka Allah menurunkan petunjuk yang berupa fitrah munazzalah yaitu Al-Qur’an. Artinya ketiga fitrah itu, jika dipahami dengan sebaik-baiknya akan menghasilkan ilmu yang benar. Dari kesamaan ini saja sudah dapat dijelaskan betapa integralnya ajaran Islam dalam memahami alam semesta yang merupakan basis bagi pengembangan sains dan teknologi.
Konsep integral seperti yang digambarkan diatas berdampak terhadap orientasi sains masyarakat masyarakat Muslim dan itu adalah sebagian konsep dari worldview Islam yang dapat menjadi basis bagi lahirnya tradisi intelektual Islam. Professor Alparslan membuktikan secara teoritis bahwa Al-Qur’an dan hadith sebagai sebuah sumber ilmu pengetahuan Islam memiliki konsep keilmuan yang mendorong munculnya tradisi intelektual dan lahirnya sains serta ilmu pengetahuan Islam.
Secara kronologis menurut Alparslan perjalanan dari Al-Qur’an menjadi disiplin ilmu didahului oleh tiga hal: pertama, adalah worlview (dari para ilmuwan), yang merupakan lingkungan konseptual dimana aktivitas keilmuan dikembangkan. Kedua, adalah jaringan konsep keilmuan yang telah jelas bentuknya, yang disebut sebagai “struktur konsep keilmuan” (scientific conceptual scheme. Dan ketiga, adalah jaringan kosa kata teknis dan cara pandang yang dihasilkan jaringan konsep dalam suatu ilmu tertentu, yang disebut dengan “struktur konsep keilmuan khusus” (specific scientific conceptual scheme).
Pandangan hidup para ilmuan, yang dalam hal ini ilmuan Muslim, sudah barang tentu diperoleh dari apa yang diproyeksikan oleh Al-Qur’an yang dijelaskan oleh Nabi. Bagaimana Nabi mentransformasikan pandangan hidup Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat ditelusuri terutama sejak Nabi Hijrah ke Madinah. Di sana beliau memulai membangun institusi-institusi khusus yang kemudian menjadi model pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Al-suffah adalah “universitas” pertama yang dibangun sendiri oleh Nabi di Madinah. Mahasiswanya disebut ashab al-Suffah, atau ahl al-Suffah di dalamnya mereka membaca, menulis, belajar hukum-hukum Islam, menghapal dan mempraktekkan Al-Qur’an, belajar tajwid dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Semua diajarkan langsung di bawah pengawasan Nabi. Ubaidah ibn al-Samit misalnya, seperti disebutkan dalan Sunan Abu Dawud, ditunjukk Nabi menjadi guru di madrasah al-suffah untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Aktifitas ilmiyah dalam rangka memahami Al-Qur’an yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan di dalamnya itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan (scientific community). Komunitas ilmuwan atau ulama Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu. (Baca: Lahirnya Tradisi Keilmuan Dalam Islam).
Jika lahirnya sains Islam dalam tradisi intelektual Islam telah dibuktikan secara teoritis dan historis oleh Alparslan, maka Adi Setia lebih memperjelas bagi identitas sains Islam dengan membeberkan makna teknis sains Islam. Adi menjelaskan bahwa makna sains Islam dapat diidentifikasi, pertama-tama, melalui fakta-fakta sejarah yaitu adanya tokoh-tokoh saintis muslim yang berwibawa seperti Ibn Haytham, Ibn Syna, al-Khawarizmi, al-Biruni, Omar Khayyam dan lain sebagainya. Saintis Muslim adalah mereka yang memiliki aktifitas saintifik berdasarkan pandangan hidup Islam.
Makna kedua dari sains Islam, menurut Adi, adalah pandangan-pandangan saintis atau cendikiawan Muslim yang secara teoritis, konseptual berangkat dari pandangan hidup Islam. Pandangan-pandangan yang telah berbentuk karya-karya ini memiliki identitas tersendiri sehingga secara tidak langsung berbeda atau kritis terhadap sains atau ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan Islam. Makna ketiga, adalah upaya-upaya ilmuan Muslim untuk merumuskan kembali konsep-konsep sains Islam berdasarkan pandangan hidup Islam dengan tujuan menghasilkan definisi, metodologi, paradigm keilmuan Islam yang dapat menghasikan teknologi yang tepat guna dan tepat nilai serta bermanfaat bagi kesejahteraan umat lahir dan bathin.
Dengan paparan diatas identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan lagi, baik secara teoritis, historis ataupun prospektifnya. Kajian historis bagaimana sains dalam Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban Islam dan kehidupan umat Islam terbukti di Andalusia. Professor Wan Mohd Nor Wan Daud memaparkan bagaimana Andalusia merupakan kawasan paling beradab di dunia pada waktu itu, dimana sains, politik dan kehidupan social lainnya saling menopang dan saling bekerjasama dalam sebuah harmoni kehidupan ( Baca: Iklim Kehidupan Intelektual di Andalusi ).
Professor al-Hassan membahas bagaimana sains Islam Lahir dan mencapai puncaknya antara abad ke 13 dan ke 16. Pernyataan ini mungkin mengejutkan peneliti sejarah sains Islam, karena kebanyakan orientalis dan cendikiawan Muslim yang terpengaruh dengan mereka, umumnya berpendapat bahwa gara-gara serangan al-Ghazali pada abad ke 10 terhadap filsafat maka filsafat dan sains di dunia Islam mundur. Padahal justru pada abad ke 13 sains Islam merangkak menuju puncak kejayaannya. Observatorium Maragha didirikan justru setelah Bahgdad jatuh yaitu tahun 1259. Aktifitas astronomi terus berkembang dan bahkan ditandai oleh astronomer Muslim terkenal ‘Ali Ibn Ibrahim Ibn Shatir (1304-1375), yang karyanya memberikan inspirasi Copernicus untuk menemukan teori Heliosentris. Di Istanbul Observatorium terpentingnya dibawah kepemimpinan Muhammd Ibn Ma’ruf al-Rashid al-Dymashqi masih berdiri tegak hingga tahun 1577 dibawah kekuasaan Sultan Murad III. Disini al-Hassan menegaskan bahwa lahirnya sains Islam disebabkan oleh prinsip-prinsip Islam yang sumbernya adalah al-Qur’an dan hadith ( Baca: factor-faktor di balik kemunduran Ilmu Pengetahuan Islam setelah Abad ke 16 )
Kini persoalannya bukan apakah sains Islam itu ada atau pernah ada, tapi apa yang menyebabkan sains Islam di masa lalu itu mundur hingga kini. Al- Hassan menyimpulkan menjadi 4 faktor penyebabnya: pertama, karena factor ekologi dan alami; kedua, karena invasi-invasi eksternal; ketiga, adalah hancurnya perdagangan internasional dan berkembangnya kekuatan Barat, dan keempat, adalah factor intervensi dan kolonialisasi militer. Karena keempat hal inilah Muslim tidak lagi leading dalam bidang sains seperti pada abad ke 13 hingga abad ke 16. Meski demikian al-Hassan masih melihat kemungkinan-kemungkinan bangkitnya sains Islam di masa depan, mengingat sumber daya manusia dan juga sumber daya alam Negara-negara Muslim sangat potensial untuk itu.
Paparan Dr.Zaidi, Dr. Adi Setia, Prof. Alparslan, Prof. Wan Mohd Nor dan Prof. al-Hassan telah cukup memberikan gambaran bahwa identitas sains Islam itu adalah riel. Namun kebingungan intelektual, kesalahpahaman dan kerancuan konseptual para cendikiawan Muslim, kini wujud sains Islam di sangsikan. Dipermukaan mungkin Nampak benar karena hegemoni epistemology atau filsafat sains Barat telah menghilangkan identitas sains Islam. Untuk itu Seyyed Hossein Nasr memberikan rambu-rambu penting bagi perjalanan menuju terciptanya sains Islam yang murni untuk menghilangkan kesangsian tersebut. Rambu-rambu tersebut pertama, menghilangkan sikap “memuja” sains dan teknologi Barat. Kedua, perlu adanya pendalaman terhadap sumber-sumber Islam tradisional dari al-Qur’an, Hadith, ilmu-ilmu tradisional seperti filsafat, teologi, kosmologi dan lain-lain untuk dapat memformulasikan pandangan alam Islam, khususnya yang berkaitan dengan konsep Islam tentang alam semesta dan ilmu alam. Yakni semua, seperti yang dipaparkan Alparslan, harus dilakukan dalam frame work tradisi intelektual Islam. Ketiga, Muslim perlu mempelajari sains modern setinggi-tingginya, khususnya sains murni dengan begitu mereka akan dapat melakukan transformasi teori secara mendalam. Keempat, menghidupkan kembali sains Islam tradisional sebisa mungkin, khususnya dalam bidang kedokteran, farmasi, pertanian dan arsitektur. Bidang-bidang ini tidak hanya akan menciptakan rasa percaya diri terhadap kultur mereka sendiri, tapi juga akan memberikan konsekuensi social dan ekonomi yang mendalam. Sangat aneh jika terapi akupuntur, Ayurveda, Yoga, Homopathy, dan sebagainya sangat marak, sementara kedokteran Islam masih absen dari aktifitas pengobatan alternative. Kelima, untuk menciptakan sains Islam yang asli adalah dengan mengawinkan sains dan etika, bukan dalam diri saintis tapi dalam struktur teoritis dan fondasi filsafat sainsnya. Yang terakhir inilah yang absen dari sains Barat Modern. Dari uraian yang akan dipaparkan pada edisi ini akan dapat diketahui bagaimana sejatinya sejarah, makna dan sains Islam.
Kalau Emmanuel Kant menyatakan: “ I felt the need leave behind the books I read in order to believe in God” (Saya merasa perlu meninggalkan semua buku yang say abaca agar saya percaya kepada Tuhan), maka bagi Muslim tentu harus berkata:”saya perlu meninggalkan semua buku yang say abaca kalau buku itu tidak menambah keimanan saya kepada Tuhan.” Kalau Kant memilih logika either no, memilih ilmu atau Tuhan, Islam justru menyatukan ilmu dan Tuhan. Wallahu a’lam bissawab.
http://eddysyahrizal.blogspot.com/2008/10/makna-sains-islam.html
Islamisasi
Sekitar tahun 1992 Prof. Dr. Mukti Ali di sela-sela sebuah seminar di Gontor tiba-tiba bergumam, “Bagi saya Islamisasi ilmu pengetahuan itu omong kosong, apanya yang diislamkan, ilmu kan netral”. Prof. Dr. Baiquni yang waktu itu bersama beliau langsung menimpali “Pak Mukti tidak belajar sains, jadi tidak tahu dimana tidak Islamnya ilmu (sains) itu”. Pak Mukti dengan antusias, menyahut “Masa iya, bagaimana itu?” “Sains di Barat itu pada tahap asumsi dan presupposisinya tidak melibatkan Tuhan”, jawab Baiquni. “Jadi ia menjadi sekuler dan anti Tuhan”, Pak Mukti dengan kepolosan dan sikap akademiknya spontan menjawab lagi “Oh begitu”. Diskusi terus berlangsung dan soal ilmu serta Islamisasinya menjadi topik menarik.
Benarkah ilmu pengetahuan masa kini itu tidak mengakui adanya Tuhan? Pernyataan Baiquni sejalan dengan apa kata R. Hooykaas dalam Religion and T he Rise of Mo dern Science. Di Barat dunia dulunya digambarkan sebagai organisme, tapi sejak da tangnya Copernicus hingga Newton bergeser menjadi mekanisme. Pergeseran cara pandang ini pada abad ke 17 telah diprotes pengikut Aristotle. Menurut mereka pandangan terhadap dunia yang mekanistis itu telah menggiring manusia kepada atheisme (kekafiran).
Tapi pendukung mekanisme seperti Beeckman, Basso, Gasendi dan Boyle tidak terima. Dengan dalih konsep mukjizat, Boyle misalnya, beralasan, gambaran mekanistis bisa juga religius. Karena jika materi dan gerak yang menjadi esensi organisme tidak cukup untuk menerangkan fenomena alam, maka ini berarti memungkinkan adanya intervensi Tuhan melalui mukjizat. Artinya masih ada peran Tuhan disitu. Tuhan bisa sewaktu-waktu turun tangan mempengaruhi kausalitas alam semesta. Inilah occassionalisme yang menjadi doktrin Kristen hingga kini. Artinya Tuhan itu sangat transenden, berada jauh disana dan tidak terjangkau. Sementara alam berada disini dan tidak selalu dibawah pengawasan Tuhan.
Menggambarkan dunia sebagai mekanisme berarti melihatnya sebagai mesin. Bagi yang atheis mesin itu ada dengan sendirinya. Bagi yang theis mesin itu diciptakan. Tapi di Barat kekuasaan Pencipta itu direduksi dan akhirnya dihilangkan. Dunia dulu diciptakan namun kini bebas dari Penciptanya. Masih belum lama ketika Henri de Monantheuil seorang penulis Perancis, pada tahun 1599, menyatakan bahwa Tuhan adalah pencipta mesin dan ciptaan-Nya, yaitu dunia ini, berjalan bagaikan sebuah mesin. Tentu, ini membuat jamaah gereja berang. Tuhan gereja dianggap tidak ikut campur urusan dunia.
Faham mekanisme tentang dunia inilah yang menguasai alam pikiran Barat modern. Paradigma positivisme dan empirisisme dalam sains Barat menjadi subur. Otoritas memahami dunia kini berpindah dari gereja ke tangan saintis. Descartes, Gassendi, Pascal, Berkley, Boyle, Huygens dan Newton yang konon membela Tuhan, akhirnya merebut otoritas Tuhan. Jargon “Man is the standard of everything” dinyanyikan ulang. Benar-salah, baik-buruk tidak perlu campur tangan Tuhan. Wahyu dikalahkan akal atau diganti dengan akal.
Jika dulu gereja bisa marah pada Copernicus dan Galelio dan menghukum Bruno, kini hanya dapat menangisi ulah para saintis. Sementara para saintis seperti tidakmau repot dan mengambil posisi, “yang tidak bisa dibuktikan secara empiris bukan sains”. Teologi tidak bisa masuk dalam sains. Bicara fisika tidak perlu melibatkan metafisika. Argumentasi Francis Bacon sangat empiristis “Ilmu berkembang karena kesamaan-kesamaan, sedangkan Tuhan tidak ada kesamaannya”. Maka dari itu dalam teori idola-nya Bacon mewanti-wanti agar tidak melakukan induksi berdasarkan keyakinan.
Selain itu Bacon juga mengakui, kita ini bodoh tentang kehendak dan kekuasaan Tuhan yang tersurat dalam wahyu dan tersirat dalam ciptaan-Nya. Descartes berpikiran sama kehendak Tuhan tak dapat dipahami sehingga menghalangi jalan rasionalisme. Terus? “Kita tidak perlu takut melawan wahyu Tuhan dan melarang meneliti alam ini,” katanya. Sebab tidak ada larangan dalam wahyu. Tuhan memberi manusia hak menguasai alam. Oleh sebab itu kita bisa seperti Tuhan dan mengikuti petunjuk akal kita. Jadi, sebenarnya para saintis bukan tidak percaya Tuhan, tapi mereka kesulitan mengkaitkan teologi dengan epistemologi. Tragedinya, standar kebenaran dan metode penelitian pun akhirnya dimonopoli oleh empirisisme rasional.
Sebenarnya argumentasi Descartes dan Bacon masih belum berganjak dari pertanyaan Ibn Rusyd kepada al-Ghazzali. Na mun karena Ibn Rusyd terlanjut lebih populer dikalangan gereja dengan Averois me nya, pikiran al-Ghazzali tidak dianggap. E. Gillson dalam karyanya Revelation and Reason jelas se kali menyalahkan Ibn Rusyd. Sebab dengan teori kebenaran gandanya ia dianggap telah menabur benih sekularisme pada Descartes, Malebanche, David Hume dan pemikir Barat lainnya. Tuhan tetap disembah dan diyakini wujud-Nya, tapi tidak ditemukan hubung annya dengan pikiran, ilmu atau sains. Al-Attas segera sadar ilmu pengetahuan modern ternyata sarat nilai Barat.
Andalannya akal semata dengan cara pandang yang dualistis. Realitas hanya dibatasi pada Being yang temporal dan human being menjadi sentral. Ismail al-Faruqi dan Hossein Nasr mengamini. Al-Faruqi menyoal dualisme ilmu dan sistim pendidikan Muslim. Nasr mengkritisi mengapa jejak Tuhan dihapuskan dari hukum alam dan dari realitas alam. Ketiganya seakan menyesali seandainya yang menguasai dunia bukan Barat eksploitasi alam yang merusak itu tak pernah terjadi.
Ilmu yang seperti itu harus diislamkan, kata al-Attas. Namun mengislamkan ilmu itu tanpa syahadat dan jabat tangan sang qadi. Diislamkan artinya dibebaskan, diserah dirikan kepada Tuhan. Dibebaskan dari faham sekular yang ada dalam pikiran Muslim. Khususnya dalam penafsiran-penafsiran fakta-fakta dan formulasi teori-teori. Pada saat yang sama dimasuki konsep din, manusia ( insan), ilmu ( ilm dan ma’rifah), keadilan (‘ adl), konsep amal yang benar (amal sebagai adab) dsb.
Lalu apakah setelah itu akan lahir mobil Islam, mesin Islam, pesawat terbang Islam dsb? This is silly question, kata al-Attas suatu ketika. Yang diislamkan adalah ilmu dalam diri al-alim, dan bukan al-ma’lum (obyek ilmu), bukan pula teknologi. Yang diislamkan adalah paradigma saintifiknya dan sekaligus worldview-nya. Jika paradigma dan worldviewnya telah berserah diri pada Tuhan, maka sains dapat memproduk teknologi yang ramah lingkungan. Teknologi bisa serasi dengan maqasid syariah dan bukan dengan nafsu manusia. Dengan worldview Islam akan lahir ilmu yang sesuai dengan fitrah manusia, fitrah alam semesta dan fitrah yang diturunkan ( fitrah munazzalah) yakni al-Qur’an, meminjam istilah Ibn Taymiyyah. Dengan paradigma keilmuan Islam akan muncul ilmu yang memadukan ayat-ayat Qur’aniyah, kauniyyah, dan nafsiyyah. Hasilnya adalah ilmun-nafi’ yang menjadi nutrisi iman dan pemicu amal. Itulah misykat yang menyinari kegelapan akal dan kerancuan pemikiran.
http://www.republika.co.id/koran/155/36851/Islamisasi
Langganan:
Postingan (Atom)
-
Makna Sains Islam Memahami makna sains Islam tidak cukup dengan sebuah atau dua buah definisi. Ini tidak berarti bahwa sains Islam tidak def...
-
Peranan Perempuan dalam Politik Terbentur Budaya Patriarki Solo, Kompas - Peranan perempuan dalam politik terutama dalam Pemilihan Umum 200...
-
Makna Sains Islam Memahami makna sains Islam tidak cukup dengan sebuah atau dua buah definisi. Ini tidak berarti bahwa sains Islam tidak def...